BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua
macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah.
Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali
terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita
saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak
harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus
mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana.
Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana
ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai
Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang
Muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Syi’ah
a.
Syi’ah adalah satu aliran dalam
Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam
atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa,
kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang
terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim
benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”[1]
b. Syi’ah secara harfiah berarti kelompok
atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin
Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib
dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi
Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih hidup. [2]
c.
Syi’ah adalah salah satu aliran
dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam
sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait).
Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi
Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.[3]
d. Perkataan Syi’ah secara
harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum
“pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung
pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi
Thalib.[4]
e.
Kata Syi’ah menurut
pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan
lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang,
seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata
Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin
Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.[5]
f.
Secara lingusitik, Syi’ah adalah
pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya
dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saww (shallallâhu
‘alayhi wa âlihi wa sallam—pen.) yang berhak menentukan penerus
risalah Islam sepeninggalnya.[6]
2. Sejarah Syi’ah
Para
penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian
menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada
saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai
Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan
sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian
yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin
‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat
yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan
antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu
Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm
atau arbitrasi.[8]
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap
kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan
Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu
‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian
kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang
seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi
Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang
menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu
sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.[9]
Namun
demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah
baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi
pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi
pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.[10]
3. Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam
pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi
Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang
mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu
Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini
dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq
bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat
tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu
darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut,
mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang
kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud
Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari
Itsna ‘Asyariyah.
Adapun
Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan
fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah
seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah
kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya
lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.
Selain dua
tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
a.
Nashr bin Muhazim
b. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa
al-Asy’ari
c.
Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e.
Muhammad bin Hasan bin Furukh
al-Shaffar
f.
Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi
al-Samarqandi
g.
Ali bin Babawaeh al-Qomi
h.
Syaikhul Masyayikh, Muhammad
al-Kulaini
i.
Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j.
Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
m. Ayatullah Ruhullah Khomeini
n.
Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain
al-Thabathaba’i
o. Sayyid Husseyn Fadhlullah
p. Murtadha Muthahhari
q. ‘Ali Syari’ati
4. Ajaran-Ajaran Syi’ah
a. Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait
berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara
khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga
bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw
dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada
Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali
bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.
b. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’
berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah
suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau
keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena
Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya
(seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan
semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa
yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan
karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.”
Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan
Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada
zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal
sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
c. Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah,
yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang
diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya
Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin
Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura
tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan
kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan
keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta
memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti
mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di
Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di
Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.[14]
d. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah
keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang
melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati,
adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan
rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[15]
Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin
masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam
bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau
penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim
disebut nash.
e. E. ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah
adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau
menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi
Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau
lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang
menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang
memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh
orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
f. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi,
yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman
yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu
disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah
salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah,
misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad
al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih
hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan
nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi
seluruh masyarakat dunia.
g. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah
berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu.
Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah
berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau
ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau
kepemimpinan para fuqaha.
h. Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari
kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh
dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.
Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr[27]
mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang
maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati
karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali.
Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan
dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan
memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut
kepemimpinan ‘Ali.
i.
Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah
berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah
adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan
bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap
penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini
boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab
Syi’ah.
j.
Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada
Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan
seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul
merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan
bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi
biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau
imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai
ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai
Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
k. Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî
berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang
sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an
fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.
Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis
yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî
dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang
berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka
hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang
membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang
melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
5. Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli
umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa
golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas.
Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.
Selain itu
terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi
Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat
(Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.Sedangkan al-Asy’ari
membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang
terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi
menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
Joesoef
So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah
membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian
pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah,
Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.
Sementara
itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci
sebagai berikut:
a.
Al-Ghaliyah:
Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah,
Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah,
Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah,
Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
b.
Imamiyah:
Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah,
Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah,
Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah
(Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah
(Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah,
Yunusiah, Setaniyah.
c.
Zaidiyah:
Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.
BAB III
PENUTUP
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran
dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah
imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw.
Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11
macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah,
‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah,
tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal
memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat
berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam
memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3.
Aceh,
Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo:
Ramadhani, t.t.
Al-Hafni,
Abdul Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan
Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, cet.
ke-1.
Al-Nemr,
Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni
Timur Tengah, 1988.
Ayoub,
Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam
Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka, 2004, cet.
ke-1.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam
Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam
Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam
Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5.
[4] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan
Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125.
[5] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen
Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
[8]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…,
h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran
Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan
lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M.
Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah
Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h.
155-185.
[9]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah:
Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
[10]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam…, h. 5.
[11]
Poin a. – l. lihat http://www.al-shia.com/html/id/shia/bozorgan/index.htm
[12]
Beliau adalah salah seorang tokoh
Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam
Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik
(1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal
(1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006).
Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah
Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008.
Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum
Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat http://www.ijabi.org/ijabi.html;
http://www.ijabi.org/pimpinan.html
[13]
Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran,
yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan
menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam
Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi
Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
[14]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam…, h. 11. Pembahasan mengenai asyura dan tabut selengkapnya lihat
Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar,
ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan,
2000), cet. ke-1, h. 20-21.
[15]
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan
Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan Pustaka,
1995), cet. ke-2, h. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar