GARIS-GARIS BESAR HALUAN ORGANISASI
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
TAHUN
2010 - 2018
BAB I
MUQODDIMAH
Tujuan PII untuk mewujudkan
Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap
rakyat Indonesia dan ummat manusia, merupakan tujuan yang berangkat dari
ekspektasi masyarakat dari ragam perspektif. Tujuan ini juga bersifat dinamis,
yang disetting sesuai sosio-historis masyarakat Indonesia dalam wilayah
dakwahnya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hingga saat ini tidak ada perubahan
dalam tujuan PII, karena PII masih meyakini bahwa untuk menciptakan masyarakat
Islam yang unggul dan bermartabat dengan ridho Allah (Izzul Islam wal Muslimin), Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan
menjadi langkah yang terlebih dahulu harus ditempuh. Tujuan ini senantiasa
diilhami oleh Islam sebagai sumber nilai, pandangan hidup dan pandangan dunia,
serta menjadi basis dari terwujudnya masyarakat Islami yang menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
Pendidikan dalam Islam merupakan
usaha sadar untuk mempersiapkan manusia agar mampu mengemban amanah sebagai Hamba Allah dan Khalifah fil Ardh, melalui proses yang dilakukan secara sistematis,
simultan dan bobot yang semakin tinggi, dengan memberikan pembekalan dan
penbentukan sikap, penambahan wawasan dan pengetahuan, serta pemberian bekal
keterampilan.
Kebudayaan sebagai pondasi dasar
kemasyarakatan merupakan out put dari pendidikan individu dalam arti luas,
dimana individu dan kelompok secara dialogis berproses dalam aktualisasi
kehidupan. Dengan demikian wujud dan eksistensinya akan sangat bergantung
bagaimana individu berproses dalam dialektika kehidupan. Kebudayaan yang sesuai
dengan Islam adalah sistem simbol dan sistem nilai dalam suatu tatanan
masyarakat yang dibentuk oleh nilai-nilai ilahiyah melalui proses transendentalisasi (tazkiyah).
Dalam perjuangan mewujudkan
cita-citanya menuju Izzul Islam Wal
Muslimin, PII membutuhkan kader-kader yang mampu menjadi pelopor,
penggerak, pemersatu dan penjaga kelangsungan misi dan eksistensi
perjuangannya, sekaligus konsistensi karakteristik kadernya meneruskan
cita-cita PII dalam kehidupan bermasyarakat pasca aktivitasnya di PII. Kader
demikian akan lahir dari sebuah proses yang terencana dengan baik, secara
bertahap, sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Proses perencanaan
tersebut tertuang dalam sebuah Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO),
sebagai pedoman arah pembinaan dan pengembangan kader.
A. PENGERTIAN
Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) PII
sebagai rumusan kebijakan strategis, rencana strategis dan program strategis
organisasi yang tersusun secara sistematis, terarah, bertahap dan terpadu dalam
menjabarkan dan mengimplementasikan cita-cita perjuangan PII dan tujuan
organisasi PII. Rumusan kebijakan, rencana dan program organisasi ini disusun
untuk kurun waktu 8 (delapan) tahun yang terdiri dari program jangka panjang
(tahun 2010 sampai dengan 2018) untuk 4 (empat) periode kepengurusan
(2010-2012, 2012-2014, 2014-2016, 2016-2018) dengan memfokuskan pada sasaran
jangka pendek setiap periodesasi kepengurusan.
GBHO ini mestilah ditempatkan sebagai proses
kelanjutan, peningkatan, perluasan dan pembaharuan terhadap GBHO sebelumnya, dengan
mempertimbangkan sepenuhnya keadaan lingkungan internal dan eksternal, dan
kendala-kendala yang menghambat pelaksanaannya. GBHO ini kemudian dijabarkan
kembali dalam program kerja jangka pendek di setiap eselon organisasi Pelajar
Islam Indonesia (PII).
B. MAKSUD
Penyusunan Garis Besar Haluan Organisasi dimaksudkan untuk :
- Menjadi landasan untuk pendayagunaan, pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya organisasi secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan
- Memberikan bingkai dan koridor dalam proses sinkronisasi dan penjabaran kebijakan dan program organisasi dari tingkat pusat hingga komisariat, baik vertikal maupun horisontal
- Mensinergikan langkah-langkah organisasi dan memfokuskan segala aktivitas pencapaian tujuan PII ke dalam tahapan dan tujuan-tujuan antara dalam kurun waktu 6 (enam) tahun ke depan
- Menjadi landasan dalam penyusunan format struktur organisasi, mekanisme dan pembagian kerja di setiap eselon kepengurusan dan badan-badan pembantu pimpinan dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan dan program organisasi.
C. LANDASAN
Ideal (Normatif) :
Ideal (Normatif) :
- Al Quraan dan
- As Sunnah
Filosofis :
- Falsafah Gerakan PII
- Khittah Perjuangan PII
- Anggaran Dasar PII
- Anggaran Rumah Tangga PII.
BAB II
WACANA
PROBLEMATIKA PII KEKINIAN
Kelima, Tokoh Politik (political figure). Yang menggerakkan
roda perpolitakan dalam sebuah negara. Tokoh berkaitan erat dengan individu,
pertanyaan yang seringkali muncul dan menimbulkan masalah jika tak tepat menjawabnya
adalah apakah tokoh politik ini dapat menjadi figure yang dapat dipercaya dan
diikuti. Mengingat begitu banyak tokoh yang tak memberikan contoh yang baik
malah sebaliknya. Berpolitik dengan gaya Macheaveli.
Indeks pembangunan pendidikan
atau EDI (Education Development Index) Indonesia tahun 2007 mengalami
penurunan. Indeks yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) dan dipublikasikan
dalam Global Monitoring Report dikeluarkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO). Total nilai EDI
diperoleh dari rangkuman perolehan empat katagori penilaian, yakni angka
partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas,
angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan angka pertahan siswa hingga
kelas 5 SD. Laporan terakhir pada November 2007 menunjukkan Indonesia berada
pada peringkat 62 dan berada pada katagori sedang, bersama 53 negara lainnya.
Peringkat ini mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang menduduki
posisi 58. Sebagai bandingan, Malaysia yang sebelumnya menduduki peringkat 62
naik peringkatnya menjadi 56.
Tahun
|
1998-2000
|
2000-2002
|
2002-2004
|
2004-2006
|
2006-2008
|
2008-2010
|
Periodesisasi
|
Djayadi
|
Abdi R
|
Zulfikar
|
Delianur
|
Zaid Makarma
|
Nasrullah
|
ADV
|
205
|
276
|
210
|
171
|
180
|
139
|
PID
|
93
|
237
|
122
|
176
|
169
|
141
|
- Adanya kesadaran profetik pada diri kader yang memungkinkan energi kesalehan mengiringi sikap dan tindakannya.
- Adanya kepedulian yang tinggi (sense of responsibility) pada segenap kader terhadap kondisi keummatan, terutama yang terkait dengan bidang garapnya, yakni dakwah, pendidikan dan kebudayaan.
- Adanya kemampuan interdisipliner dalam diri kader terkait dengan problematika yang terjadi di masyarakat.
- Adanya keterdekatan yang intens pada diri kader (pengurus) terhadap realitas kepelajaran. Keterdekatan itu bisa muncul jika rentang usia kader (pengurus) tidak terlalu jauh dari rentang usia pelajar sebagai subjek garapnya. Dalam hal ini peremajaan usia aktif menemukan signifikansinya.
- Struktur kepengurusan menjadi ruang sosial yang memungkinkan kader untuk belajar berbasis problem dan belajar berbasis aktivitas kreatif. Prasyaratnya adalah bahwa dalam struktur, kader tidak banyak terbebani oleh aktivitas yang bersifat rutinitas struktur.
- Adanya regenerasi yang efektif berbasiskan sistem kaderisasi yang berkesinambungan
- Adanya sistem pendidikan kader(isasi) yang terbuka dan berperan dalam kemanfaatan umat dengan mengacu proses transisi
- Banyaknya kader cair yang terlibat dalam aktivitas yang dibuat eselon di tingkat bawah (komisariat maupun daerah) sehingga kader inti terrekrut secara selektif.
- Adanya keterbukaan lembaga dalam berinteraksi dengan beragam elemen (lembaga/pihak lain) yang bisa menyokong peran (missi dan eksistensinya) di masyarakat, dengan mengacu pada asas independensi dan interdependensi.
A.
Wacana Problematika Eksternal
1.
Umat Islam
Kongres Umat Islam (KUI) tanggal 7-10 Mei
2010 yang dipelopori oleh MUI telah berakhir, ada beberapa agenda yang
dijadikan issue umat Islam dalam forum nasional tersebut antara lain: pertama,
wacana keislaman yang berkembang di Indonesia masih lebih dominan kepada unsur
ibadah dan tasawufnya dan pengertian ibadah disini juga masih lebih terbatas
pada sisi mahdlahnya, sehingga kiprah keberislaman itu belum banyak bergerak
dari kepentingan masing-masing personal.
Kedua, setelah sekian lama merdeka umat Islam Indonesia
umumnya, masih berada di garis periperal (pinggiran) dalam berbagai pranata
sosial mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, politik, , hukum dan sebagainya
padahal umat Islam mengakui bahwa al islamu ya’lu wa la yu’la alaihi
bahwa Islam itu tinggi mengungguli yang lain-lain dalam konsep kehidupan. Ketiga,
umat Islam sekarang ini disibukkan untuk memilih sikap pembelaan diri
sebagai akibat dari opini yang berkembang di dunia barat tentang apa yang
disebut Islamophobia yang meletakkan stigma terhadap Islam sebagai agama yang
mengajarkan kekerasan, padahal secara etimologi ajaran Islam tidak mengajakan
hal itu. Akibatnya umat Islam tersita perhatiannya untuk mengambil sikap defensif-apologetik
untuk melakukan pembelaan terhadap Islam mengingat derasnya tuduhan yang
dialamat oponi dunia barat terhadap muslim,
Keempat, pentingnya pendidikan Islam dalam lingkaran
pondok pesantren. Pondok pesantren telah telah berhasil menempatkan dirinya
sebagai wahana kaderisasi para pemimpin umat, terbukti dari banyaknya ulama,
kiai, ustadz yang menjadi pejabat baik eksekutif maupun legislatif. Kelima,
peran umat Islam dibidang politik pada masa lalu sulit diikuti perkembangannya
oleh para ulama, akibat dari terjadinya pragmatisasi politik yang tercerabut
dari idealisme yang berakar dari budaya bangsa, ditambah lagi dengan format
politik yang lebih berakar keatas, sehingga yang menjadi rujukan dalam politik
adalah pejabat-pejabat birokrasi.
Kelima Issue diatas adalah bagian kecil dari
banyaknya problem umat Islam kekinian, tentu memerlukan upaya yang terus
dengan mensinergikan semua potensi kelompok umat Islam dari berbagai bentuk dan
garis perjuangan. Senada dengan yang dikatakan oleh KH.Sahal Mahfudh :
“Untuk itu diperlukan adanya sinergi
antar komponen umat Islam di Indonesia yang memiliki kemajemukan yang sangat
tinggi dari aspek suku, bahasa, afiliasi politik, paham keagamaan dan pilihan
strategi perkhidmatan dan amal usaha”
Problem
umat Islam atau elite umat Islam (Ulama,kiai,ustadz) yang tak kalah pentingnya
adalah pembinaan umat sampai ke institusi dan level yang paling bawah
termasuk pelajar. Indikasi lemahnya pembinaan tersebut adalah bermunculannya
aliran sesat hingga hari ini dan pembinaan (pembibitan) para
pelajar dan mahasiswa untuk aksi-aksi kekerasan yang
mengatasnamakan Islam. Pembinaan yang berkelanjutan dikalangan pelajar, sekolah
dan masjid untuk mempersiapan SDM handal yang melek tehnologi dan berakhlak
baik adalah sebuah keniscayaan.
2.
Politik
Berbicara politik maka tidak bisa dilepaskan dari infrastruktur yang
menjadi pilar tegaknya politik itu dalam suatu negara. Menurut S.Pamudji dalam
bukunya Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, setidaknya ada lima
komponen yang menjadi pilar politik tersebut. meliputi; partai politik
(political party), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan
(pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political
figure).
Pertama, Partai Politik. Partai politik merupakan kendaraan untuk mencapai pucuk kepemimpinan atau
lebih tepat disebut kekuasaan baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Idealnya partai politik merupakan gerakan ideologis yang mengusung pada
identitas dan keberpihakan pada nilai - nilai idealisme, dan yang penting
adalah tidak berbicara kalah atau menang tapi bicara perjuangan dan cita-cita.
Realitanya, di negara berkembang seperti Indonesia, gerakan politik merupakan
gerakan politik citra yang bersifat pragmatis dimana orientasinya lebih pada
membangun opini, citra positif dan iklan yang berorientasi pada perolehan
suara.
Kedua, Kelompok Kepentingan. Bisa kita maksudkan
masyarakat itu sendiri (civil society) dan penyelenggara negara. Dalam struktur
legal-formal negara Republik model Indonesia kepentingan Rakyat dan Penguasa
(pemerintah) tak dapat dipisahkan. Dalam konteks pemerintahan yang baik menurut
Ryaas Rasyid, rakyat harus selalu dihadirkan dalam setiap proses perumusan dan
pelaksanaan kebijaksanaan negara dan pemerintah. Negara dan pemerintah tidak
selayaknya membuat keputusan dalam kevakuman nilai kerakyatan. Sedangkan rakyat
sebagai pihak yang memandatariskan kekuasaan pada elit pemerintah harus
bekerjasama dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Kondisi ideal ini seringkali
kontras dengan apa yang terjadi pada kenyataannya dimana pihak penguasa
(eksukitif,legislatif dan yudikatif) seringkali mengingkari amanah rakyat yang
telah di embankan kepada mereka. Akibatnya timbul ketimpangan sosial antara
pemerintah dan rakyat yang berjalan tidak sinergis.
Ketiga, Kelompok Penekan (pressure group), yang bisa kita kelompokkan
menjadi kekuatan pengamanan (polisi) dan kekuatan ketahanan (TNI). Keempat,
Media Komunikasi Politik (political communication media), yang
akhir-akhir ini kita saksikan begitu gamblang dan transfaran menampilkan
tontonan-tontonan tentang ekspresi politik masyarakat atau penguasa (negara).
Bahkan seringkali menampilkan aktor-aktor politik penguasa yang bejat tak punya
hati nurani menindas dan menginjak-injak hak dan derajat masyarakat kecil.
Setelah menguraikan lima pilar politik tersebut
diatas tentu kekuatan pemuda-pelajar tak dapat dipisahkan dari komponen politik
bangsa ini. Pada aspirasi politik, potensi pemilih pemula yang melekat pada
diri mereka punya modal suara yang cukup signifikan (30% dari jumlah seluruh
suara pemilih) dalam menentukan sikap politiknya. Walaupun kalangan ini
seringkali hanya menjadi objek para elit yang mempunyai orientasi pragmatis dan
sesaat tanpa memperhatikan nilai etik dan kesantunan yang dapat dijadikan
contoh, apalagi berbicara kepentingan pemuda-pelajar diatas begitu banyak
agenda yang harus dititpkan kepada pemegang kekuasaan ini (para elit
pemerintah, Dewan Perwakilan dan Aparat).
Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa di tangan
pemuda-pelajar inilah nasib kepemimpinan mendepan dipertaruhkan. Jika baik
generasi pemuda-pelajar hari ini, maka akan baik pula keberlangsungan
kepemimpinan mendepan. Sehingga fungsi-fungsi pembinaan dan pendidikan politik
hendaknya dimulai sedini mungkin. Adalah menjadi tanggung kawab semua komponen
politik diatas untuk memberikan kecerdasan politik bagi para cikal bakal
pemimpin masa depan ini. Bukan sebaliknya berkonsfirasi melakukan pembodahan
dan mengiming-imingin kekuasaan dengan buru-buru melibatkan mereka pada dunia
politik praktis yang penuh intrik dan kadang tak beradab.
Ciri khas gerakan
pemuda-pelajar ini adalah dengan mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka
karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya. Gerakan moral ini diakui
pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral pemuda-pelajar lahir
dari karakteristiknya mereka sendiri. Pemuda-Pelajar tulis Arief Budiman,
sering menekankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan
politik, selanjutnya Arbi Sanit memperkuat landasan di atas dengan menyataka
komitmen pemuda-pelajar yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan
keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan
yang digeluti adalah sadar politik. Karena itu politik pemuda-pelajar
digolongkan sebagai kekuatan moral.
PII sebagai bagian dari entitas pengusung gerakan
moral (dakwah) yang mempunyai tujuan profetik untuk mewujudkan kemasyarakatan
Islam menuju khairu ummat, baldah
thoyyibah wa rabbun ghafur yag sejak berdirinya telah menjadi mata rantai
perjuangan ummat bisa melakukan peranan signifikan. Jika mau diuraikan fokus
gerak PII sebagai pengusung kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam sangat luas dan ideal. Nilai yang ditawarkanpun sangat
strategis karena dari pendidikan dan kebudayaanlah pola sikap dan akhlak itu
berawal sehingga dalam seluruh proses
tersebut azas independensi dan interpendensi harus senantiasa menjadi landasan
gerakan PII.
3.
Pendidikan
Pendidikan merupakan pilar
masyarakat yang jadi dalih atas maju dan mundurnya peradaban suatu bangsa.
Mulai dari peradaban Athena dan Sparta di Yunani sampai peradaban Jepang
melalui Restorasi Meiji, kemajuan bertumpu pada satu bunyi: bangsa manapun yang
becus mengurus pendidikannya maka tunggulah saat-saat keemasannya. Tapi bunyi
ini tidak terdengar nyaring di negeri kita, Indonesia, tertutup oleh beragam
bunyi-bunyian bising yang mengacaukan: ambisi politik-kekuasaan, hasrat
ekonomi-kekayaan, dan kepentingan bersama yang dipersonalisasi.
Gerak
tumbuh kembang pendidikan bangsa ini bersumber dalam satu sulutan sumbu, yakni
kebijakan pendidikan nasional. Pelaku pendidikan yang lain hanya sebagai makmum
khusuk, kalau tidak mau berada di luar mainstream—yang berarti tidak ambil
bagian.
Anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanah
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 tidak kunjung terealisasi. Yang muncul belakangan
adalah rasionalisasi, bahwa 20 persen anggaran pendidikan itu sudah termasuk
gaji guru. Alih-alih beralasan realisasinya tidaklah mungkin, kebocoran
anggaran terjadi dimana-mana. Disinyalir, Depdiknas merupakan satu dari
departemen yang tinggi tingkat kebocoran anggarannya. Namun, saat pemerintah
pusat menutup mata dengan realisasi anggaran pendidikan, beberapa
kota/kabupaten terbukti bersungguh-sungguh mengalokasikan anggaran daerah untuk
pendidikan, seperti Kabupaten Jembrana, Musi Banyuasin, Kutai Kartanegara.
Pemerintah masih menerapkan kebijakan yang tidak
populer, yakni menyelenggarakan Ujian Nasional sekaligus
sebagai standarisasi dan kelulusan. Kalau sebagai standarisasi nasional itu
tidak terlalu dirisaukan, tapi kalau sebagai ‘vonis mati’ bagi pelajar, ini
yang membuat pendidikan formal seakan menatap potensi manusia hanya lewat mata
sebelah. Betapa tidak, potensi pelajar hanya diukur dalam nominalisasi kognitif
hasil ujian beberapa mata pelajaran. Begitu pula halnya
pergantian kurikulum yang membuat arah pendidikan tidak jelas serta kebijakan
di sekolah yang mempersempit ruang gerak pelajar dengan adanya fullday
school.
Akhirnya pelajar, sebagaimana disebut tadi, hanya
khusuk mengikut. Padamulanya belajar itu baik, namun jadi tidak baik jika
overload dan tidak merata. Pelajar terkuras energi dan waktunya untuk mengurus
mata pelajaran tertentu, sementara buku-buku hidup melalui interaksi pelajar di
masyarakat hanya jadi lembaran-lembaran usang dan malas dibuka. Indikasinya :
pelajar berada di sekolah sesiang suntuk menerima pelajaran, pelajar
berbondong-bondong mengasah kemahiran menjawab soal di bimbingan belajar,
sedangkan mengikuti kegiatan di luar, termasuk berorganisasi, hanya ditempatkan
dalam nomor urut kegiatan yang paling buntut.
Belum lagi persolan moralitas
pelajar yang kian bobrok tidak sebanding dengan pendidikan agama, dimana
merupakan salah satu pilar pendidikan moral secara formal. Dimana frekuensi
kurikulum pendidikan agama hanya dianggap bagian kecil dibanding pengajaran
berbagai macam mata pelajaran yang kurang menitikberatkan akan dimensi
peningkatan moralitas. Terlebih persoalan dikotomi akan sekolah umum dan
madrasah yang semakin memarginalkan peran dan posisi sekolah agama.
4.
Sosial dan Budaya
Segalanya bermula dari
pikiran. Ini dianut oleh Descartesian dan aliran psikologi kognitif. Pernyataan
ini dipakai sebagai penguat premis bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh
pikirannya, atau seseorang dapat bertindak benar jika diawali dengan pikiran
yang benar. Namun, dalam kompleksitas hidup saat ini seseorang dapat bertindak
luput dari kesesuaiannya dengan apa yang dipikirkan. ‘Kebudayaan merupakan
suatu proses belajar’ begitu kata C.A. Van Peursen. Dengan beragam perkembangan
sosial-budaya di era globalisasi sekarang ini, dengan sajian-sajian informasi
yang tidak pernah putus, kita lupa untuk belajar dari segala kejadian dan
infomasi. Dus, saat enggan belajar dari beragam fenomena yang kasat mata,
seseorang dapat terjebak pada pikiran dan tindakan yang justru, tidak
berbudaya.
Kebebasan berpendapat dalam
ruang demokrasi dijawab dengan kekerasan di sana-sini, kebebasan dalam ekspresi
dijawab dengan apresiasi atas estetika murahan, keragaman dalam keyakinan
dijawab dengan keberagamaan yang sempit, kewenangan untuk mengelola negeri
dijawab dengan kesewenang-wenangan demi diri sendiri.
Arus deras globalisasi
berarti jalan baru bagi lalu-lalang nilai, norma, gaya hidup dan paham dari
beragam sumber. Pengaruhnya bisa mencengkeram sampai area yang paling subtil :
cara makan—termasuk jenis makanan yang dikonsumsi, cara tidur—baju yang
digunakan untuk tidur, cara mandi—shampo apa yang dipakai untuk membersihkan
rambut, cara berkeluarga—rumah seperti apa yang dibeli untuk dihuni. Terlebih
lagi, pertimbangan pilihan kegunaan suatu barang atau jasa tidak memakai alasan
fungsional, tetapi lebih pada prestise di masyarakat agar dipandang maju,
modern dan tidak ketinggalan zaman.
Di kalangan pelajar, pengaruh
gaya hidup global lebih-lebih lagi terlihat dan menyisakan kesimpulan bahwa
sesunguhnya pelajar dalam posisi yang menegaskan kelabilan emosinya. Gaya hidup
yang dipengaruhi oleh teman sebaya dan factor lingkungan menunjukkan tingkat
kelabilan itu. Pelajar bukan mampu memengaruhi, tetapi dipengaruhi. Atas
kelabilan emosi itu pelajar mudah tergiring oleh jebakan-jebakan yang mengatasnamakan
tren. Disini, pilihan perilaku yang mengedepankan pertimbangan rasional susah
mendapat tempat. Pelajar makin terjauhkan dari pertimbangan pilihan tindakan
yang bersifat otonom. Maka menjadi keharusan untuk mengambil sikap counter dan
filter. Dimana counter (penolakan) ditujukan pada berbagai budaya yang
cenderung destruktif dan filter (penyaringan) digunakan sebagai sikap akan
inklusivitas yang selektif demi kemajuan.
5.
Ekonomi
Makin
lama krisis ekonomi dilalui, yang hadir justru krisis ekonomi yang
menjadi-jadi. Kita jadi bangsa yang tidak berkuasa atas penyakit yang diderita
sendiri. Bukan bangsa yang mandiri, tapi justru bangsa yang mengandalkan negara
lain sebagai dokter mujarab.
Situs-situs
ekonomi neoliberal makin jelas mengakar. Shell dan Petronas membayangi
Pertamina yang dirundung rugi tiap tutup buku. Penyedia layanan komunikasi
ternyata didominasi kepemilikannya oleh negeri jiran. Undang-undang Penanaman
Modal Asing (PMA) memungkinkan investor asing memperpanjang kontraknya selama hampir
sampai satu abad. Sumber daya alam disedot oleh pihak asing dengan jatah bagi
negeri sendiri yang terlalu minim. Kita jadi bangsa yang tidak berdaya di depan
sorot mata pemilik modal yang rakus.
Ekonomi mikro menunjukkan
kondisi yang tidak layak dijalani. Banyak usaha kecil yang gulung tikar karena
kekurangan modal. Ditambah lagi dengan naiknya BBM yang merupakan azab ekonomi yang tidak berhenti pada
hari kemarin, tetapi merupakan kenyataan yng akan terus berulang dengan
kenaikan yang kian mencekik dan menyulitkan rakyat.
Jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam
kemelaratan. Kalau kita menggunakan ukuran US$ 2 -PPP (purchasing power parity
)/kapita/hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia, pada 2007 angka
kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih rendah dari angka pada
2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%). Jadi (hampir) separoh warga
Indonesia hidup dalam keadaan miskin. Lantas, apa arti pembangunan jika kian
lama program pembangunan berselang hanya berujung pada kemiskinan yang panjang
dan berlipat jumlahnya?
Keadaan ekonomi Indonesia semakin diperparah
dengan adanya perjanjian pasar bebas ASEAN dengan Cina; ASEAN-Cina Free Trade
Area (ACFTA) yang diberlakukan sejak 1 Januari 2010. Kesepakatan tersebut
semakin memukul pelaku ekonomi sektor riil dan secara tidak langsung kita
dijajah dalam bidang ekonomi. Hal ini semakin diperparah oleh rakyat Indonesia
yang konsumtif. Lebih jauh lagi, perjanjian ACTFA yang mencakup jasa perbankan
serta pendidikan yang akan terintegritas dan sinergis bagi seluruh komponen
bangsa guna bangkit dari keterpurukan ekonomi.
6.
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Inilah abad yang diramal oleh
Alvin Tofler sebagai gelombang ketiga. Bisa dikata, siapa yang menguasai
informasi dan komunikasi, dialah yang menguasai zaman ini. Media komunikasi dan
informasi mulai dari televisi, internet, handphone, komputer jadi benda yang
dibutuhkan dan dihargai keberadaannya di masyarakat. Siapa yang tidak dekat
dengan media-media itu, dia tidak ambil bagian dalam percaturan hidup di zaman
ini. Namun, teknologi informasi dan komunikasi jadi pisau yang bermata dua,
bisa positif bisa juga negatif. Tergantung dari bagaimana kita menggunakannnya.
Tajamnya bisa ‘membunuh’ diri kita ataupun mempertajam nurani kemanusiaan kita.
Derasnya teknologi informasi dan komunikasi itu
sangat berdampak pada pola dan gaya hidup, fashion,food,fun (3F)
menjadikan manusia larut dalam gelombang globalisasi yang secara langsung juga
menerima segala konsekwensi yang ditimbulkannya. Akibatnya kesenjangan sosial,
sikap individual bahkna amoral merupakan pemandangan yang nampak biasa padahal
subtansinya telah mencerabut budaya dan kearifan bangsa Indonesia.
B.
WACANA PROBLEMATIKA INTERNAL
1.
Kaderisasi dan SDM
Mata rantai perjalanan PII setelah 63
tahun menunjukkan pasang surut seiring dinamika kebangsaan yang ada. Pasca
Reformasi 1998 muncul harapan besar dengan era formalisasinya PII tampil
mengemuka di ranah publik, imbas UU keormasan 1985 yang telah mengkerdilkan
hampir semua gerakan yang menolak Pancasila dipaksakan sebagai asas untuk semua
dasar kehidupan berbangsa. Generasi pasca Formalisasi dalam hal ini produk
sistem kaderisasi Ta’dib (AD Bab VI pasal 9) terpapar sebagai berikut
Profil kader nasional (inti) terpetakan
sebagaimana data di atas (diolah dari LPJ periode ke periode). Jelaslah
posisinya pasang surut dan muncul dilematika selain faktor kuantitas dalam
kapasitas output ta’dib maka kualitas juga menjadi rentetan persoalan akibat
lemahnya proses follow up oleh struktur yang kurang gesit, agresif
menyelenggarakan arena diskursus dan agenda perubahan sesuai misi gerakan di
tengah masyarakat pelajar.
Sistem kaderisasi Ta’dib sebagai media
ideologisasi menunjukkan keunikan dan khazanah yang luar biasa. Medan pertarungan ideologisasi, sistem ini
cukup ampuh melakukan filterisasi guna menampung beragam model cara pandang dan
paradigma dalam dimensi yang utuh proses menjadi manusia (pembelajaran orang
dewasa). Bertemunya mozaik persoalan dan cara pandang (melting pot) telah
menempa proses dialektika dalam diri kader PII di tingkat nasional. Persoalan
apapun mampu diselesaikan dengan media dialog bukan kekerasan dan intimidasi.
Indahnya logika pembelajaran ini dalam menghargai setiap proses hidup kader
menempatkan pembelajaran quantum sebagai keniscayaan.
Secara utuh ada rantai persoalan implementasi demi
idealnya proses pendidikan kader melalui jenjang training ditopang ta’lim dan
kursus. Persoalan utama yang paling mendasar terletak pada kapasitas SDM dan
kuantitas SDM. Proses kaderisasi adalah proses kualitas yang menuntut
kecerdasan strategi, wawasan dan disiplin kerja dalam rangka memastikan sistem
berjalan sebagaimana mestinya. Rantai masalah yang sebab akibat ini akhirnya
dalam implementasinya tiap zona (Sumatra-jawa-Indonesia Timur) sampai hari ini
tercecer. Dalam hal ini yang diperlukan adalah regulasi yang tidak
mengkerdilkan semangat implementasi secara utuh. Perlu penjaminan kualitas
/quality assurance oleh dewan ta’dib mulai unsur kepemanduan hingga instruktur
tingkat lanjut sebagai proses yang terus menerus dalam rangka perbaikan.
Sistem ta’dib dan realitas struktur sering
dikatakan incompatible, prasyarat utama ta’dib ialah adanya struktur yang sehat
dan kuat sehingga proses pengelolaan(implementasinya) berjalan optimal. Selain
itu dapat dijelaskan dalam Bab V pasal 8 dalam Anggaran Dasar , karakter
penggerak dalam tubuh gerakan adalah unsur usaha untuk mencapai tujuan
organisasi dengan fungsi catur baktinya sebagai media berlatih, wahana
penghantar sukses studi, wadah pembentukan kepribadian muslim dan alat
perjuangan bagai pelajar Islam (AD bab IV pasal 7). Fungsi pengkaderan dalam
sistem kaderisasi PII memprioritaskan dinamika pembelajaran catur bakti PII
melalui sistematika yang berjenjang (struktur). Kader merasakan manfaat
berorganisasi maka apapun akan dilakukan kader untuk mewujudkan misi organisasi
sebagai proses keberpihakan akan visi gerakan dalam menghadapi tantangan
zamannya.
2.
Kelembagaan dan Menejemen
Infrastruktur yang ada hari ini 30 PW, 222 PD,
lebih kurang 1000 PK dengan jumlah personalia PB badan induk dan
Badan otonom (50) PW (>450) dan PD (>1000). Dinamika tersebut jelas
membutuhkan media pengelolaan yang kompetitif dan progresif sesuai gerak
perubahan zaman. Rentang kendali informasi dan kontrol managerial yang memadai
jelas dibutuhkan skill organisasi yang multi komplek , tiada strategi tunggal
untuk memajukan kualitas organisasi selebihnya bisa dipetakan berdasar pola
sosio-historis, sosiologis dan geografis.
Ada tiga isu utama yang harus dipersiapkan dalam
wacana intepretasi kekurangan periode sebelumnya dan fondasi ke periode
berikutnya ;
1.
Struktur
Dalam kerangka berpikir struktural
maka diperlukan elemen vital institusi yang komprehensif dan kompeten dalam
menjawab kebutuhan zaman. Sub sistem dari struktur yakni : Kebijakan, konsep,
program jangka pendek, jangka panjang, sistem eselon
Agenda utama dalam penyehatan struktur tersebut adalah dengan mengembalikan fungsi
masing-masing eselon dan peningkatan intensitas pembinaan oleheselon yang lebih
tinggi kepada eselon di bawahnya yang kemudian menguatkan semangat keberpihakan
sikap PII terhadap masyarakat pelajar. Hal ini dimaksudkan agar ada
keseimbangan dan kesatuan gerak PII secara nasional untuk tetap menegakkan
peran PII di masyarakat pelajar.
2.
Budaya
Gerakan (learning organization)
Budaya merupakan komponen penting dalam membentuk
karakter dan proses pentransformasian kepentingan individu satu sama lain
dengan agenda organisasi. Sebagai proses transaksi nilai maka ada sesuatu yang
dipertukarkan dan sifatnya take and give sesuai dengan kompetensi
dan profil ideal kader yang hendak dipertajam aktualisasinya. Kinerja hanyalah impact
dari proses bertambahnya rasa memiliki, nyaman, adanya value added
setelah berorganisasi di eselon manapun dan mewakili pandangan kritis akan
masalah masa depan yang harus diselesaikan.
Karakter utama daam mengelaborasi budaya organisasi yang relevan bergerak
dalam isu mengubah wajah komunitas dari tardisi oral/verbal dalam hal ini bisa
ditengarai dalam konteks dialog, seminar, training dan rapat bergerak ke ranah
budaya literal , konstruksi berkarya , budaya tulis, ilmiah sesuai dengan nilai
keunggulan dan kompetensi kader.
Komponen utama dari turunan budaya gerakan ialah ; komunikasi organisasi ,
proses transfer knowledge dalam kerangka comunity based knowledge untuk
mendorong society based knowledge, model penghargaan/reward and punishment,
Etos kerja, budaya ilmiah untuk melakukan gerak rekayasa sosial yang
representatif sesuai dengan karakter gerakan. Selain dari budaya organisasi
yang mengutamakan persaudaraan (ukhuwah) yang mana tetap menghormati kearifan
local (local wisdom) yang ada dengan tetap berpegang teguh pada pedoman
universalitas moral dan nilai-nilai agama.
3.
Kepemimpinan
Bagian vital dari berjalannya oragnisasi terletak
pada kapasitas SDM yang inhern dalam proses meletakkan agenda implementasi dan
rekayasa gerakan. Karakter utama dalam implementasinya PII menginginkan kader
yang berkualitas muslim, cendekia, pemimpin yang dalam kapasitas ini poin
sentralnya kualitas proses kepemimpinan ; motivator, inisiator, inovator, decision
maker, dinamisator dan komunikator (lobier). Karakter ini sangat
diperlukan dalam rangka akselerasi gerakan yang lebih progressif. Karekter
kepemimpinan di PII akhir-akhir ini malah mengalami pergeseran penurunan yang
cukup signifkan. Hampir 10 ketua umum pengurus wilayah yang tersebar di
seluruh Indonesia mengundurkan diri. Indikasi utama kemunduran mereka adalah
masalah personal (kedirian). Ini jelas menjadi PR kita bersama sehingga
karakter yang kita ingin capai diatas dapat terwujud.
3.
Sarana dan prasarana
Proses implementasi kebijakan dalam bentuk program merupakan usaha sadar
dan bertanggung jawab mendayagunakan segenap sumber daya, kemampuan dan
kapasitas organisasi sehingga membawa kemanfaatan secara personal (kader), institusional
dan keummatan. Aspek sarana dan prasarana tak bisa dipungkiri bukanlah faktor
tunggal dalam menyelesaikan masalah PII. Infrastruktur merupakan turunan dari
aspek suprastruktur (kesadaran nilai, misi dan pandangan hidup). Adanya alat
komunkasi dan transportasi, finansial memadai, dan media berkumpul dan
berdiskusi(sekretariat) merupakan aspek fundamental dalam menopang energi
struktur dalam merespon masalah aktual kepelajaran.
Masalah
ini tidak hanya dihadapi oleh institusi Pengurus Besar namun hampir semuanya (PW–PD-PK) karena sifat organisasi PII yang berada dalam
jalur non profit yang mengutamakan dakwah sosial. Arus kas yang optimal dalam
kerangka suplai logitik organisasi tak bisa dipungkiri berasal dari dana
charity (kemanusiaan) baik individu maupun institusional dan bantuan dari
pemerintah bila ada.
Pemenuhan kebutuhan mendasar organisasi dalam
bentuk ketersediaan sarana merupakan pilihan normatif dalam kerangka managerial
kelembagaan yang sama-sama mesti diusahakan bukan berpangku tangan terhadap
jaringan emosional (perhimpunan KB PII) namun masih banyak akses di luar
stakeholder konvensional. Setelah itu terpenuhi maka problem berikutnya
alokasi(pemanfaatan), dalam hal ini dibutuhkan kecermatan, profesionalitas dan
transparansi dalam kegunaannya. Aspek berikutnya pelaporan sebagai wujud amanah
dalam mengemban misi kebudayaan secara material maupun immaterial
4.
Ketersediaan Dana
‘Dana
bukanlah hal yang utama, namun tanpa dana banyak menimbulkan masalah’ Ungkapan
yang masih relevan untuk menggambarkan pentingnya keberadaan dana dalam
oraganisasi PII. Upaya-upaya kreatif pengurus baik menghimpun dana-dana umat (zakat,
infaq, shodaqoh, dana mandiri) dan memulai usaha mandiri dengan
berbagai upaya harus dilakukan secepat dan sedapat mungkin. Potensi yang
dimiliki PII cukup banyak jika di maksimalkan pengelolaannya.
C. Tujuan
Strategis 2018
Tujuan
strategis ini merupakan gambaran kondisi ideal yang ingin dicapai oleh PII pada
tahun 2018, yaitu sebagai berikut :
“PII
menjadi organisasi kader yang memiliki kader berkualitas dengan budaya
organisasi yang sehat, dinamis dan mandiri demi terwujudnya pelajar Islam yang
kritis dan sadar akan peranannya sebagai subyek perubahan”
D. Key Success Factor
Untuk mencapai tujuan
strategis terdapat faktor yang menjadi kunci kesuksesan (key success factor). Apabila kunci sukses faktor tidak terjadi,
maka tujuan strategis tidak akan tercapai. Key
Success Factor tersebut adalah :
- Komitmen, disiplin, loyalitas, jujur, berani bersikap dan bertindak, produktif, etos kerja dan militansi tinggi, profesional serta konsisten.
- Pembinaan, monitoring dan evaluasi kader dan organisasi yang intensif dan berkelanjutan.
- Tersedianya muaddib yang berkualitas dengan jumlah yang cukup untuk melakukan pengkaderan sampai ketingkat komisariat.
- Banyaknya follow up kegiatan dalam rangka peningkatan kompetensi kader.
- Selektifitas kader diperketat.
- Adanya basis kader di lembaga formal dan non formal yang memadai.
- Tersedianya sarana, prasarana dan didukung oleh kondisi keuangan yang memadai.
- Peran keummatan dan kepelajaran kader yang konkrit.
BAB III
FORMULASI
STRATEGI
A. Strategi
Umum
Untuk
mencapai tujuan strategis diatas, strategi yang dilakukan adalah melakukan
proses kaderisasi yang intensif dan terkontrol didukung oleh budaya organisasi
yang sehat dan dinamis serta basis organisasi yang kuat.
B.
Modalitas Utama
Dalam
mengimplementasikan strategi program, baik jangka panjang maupun jangka pendek,
butuh modalitas utama yang akan menyokong terealiasainya strategi program
tersebut. Berikut ini beberapa modalitas utama yang diharapkan ada pada segenap
unsur kepengurusan, baik dalam struktur, kultur dan kepemimpinannya.
Kebijakan
Strategis Jangka Panjang secara periodik
v Periode 2010-2012,
Konsolidasi
internal (penataan supra dan infrastruktur), pemanatapan basis pembinaan, ekspansi
jaringan, pematangan isu strategis dan pengadaan usaha mandiri.
v Periode 2012-2014,
Pengembangan
kapasitas internal, pengembangan basis pembinaan, penguatan jaringan, dan
pengguliran opini publik, penguatan jaringan usaha.
v Periode 2014-2016,
Pemeliharaan
dan kontrol efektivitas internal, pengembangan dan pemeliharaan basis
pembinanan, kemitraan dengan jaringan yang ada, penggiringan opini publik
kemandirian finansial.
v Periode 2016-2018,
Pemberdayaan
internal, pemberdayaan basis pembinaan, keberlanjutan kemitraan, penguatan brand
image PII (leader opinion) kemandirian Pemberdayaan finansial.
C.
Sasaran Strategis Jangka Panjang
Dengan
strategi umum yang dilakukan untuk mencapai tujuan strategis, maka sasaran
strategis jangka panjang yang ingin dicapai adalah :
- Penyempurnaan sistem kaderisasi yang relevan dengan semangat zaman dan masyarakat pelajar
- Terpenuhinya sumber daya muaddib baik secara kualitas dan kuantitas dalam tingkatan eselon.
- Berjalannya sistem kaderisasi secara utuh dan konstekstual.
- Penyiapan kader tunas (6-12) sebagai fondasi rekruitmen kader melalui penjaringan dan pembinaan berkelanjutan
- Terciptanya kader cendekia yang memiliki kesadaran keilmuan dan pengetahuan dalam rangka melakukan transformasi (perubahan) di tengah masyarakat.
- Adanya basis kader yang dekat dengan subjek garap baik secara isu kepelajaran (pengetahuan) maupun secara emosional kepribadian(sikap) dan peran kepelajaran yang berkualitas (skill).
- Peningkatan kuantitas secara masif di level grass root sejalan dengan penajaman pola gerak organisasi berbasis aktivitas (minat, bakat, karya)
- Penyederhanaan bentuk dan pola kerja struktur untuk efektifitas komunikasi dan kinerja organisasi.
- Memiliki database internal dan eksternal yang akurat dan dikelola secara profesional. yang mampu menunjang strategi kelembagaan.
- Organisasi memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana dalam menunjang kinerja organiasi
- Terciptanya budaya organisasi yang sehat, produktif, etos kerja tinggi, dinamis, problem solving, mandiri, efektif, efisien, modern dan profesional diseluruh institusi pimpinan.
- Kemandirian keuangan yang mampu mendukung produktifitas lembaga dan langkah gerak organiasi
- Memiliki jaringan dan mitra kerja yang potensial menunjang visi dan misi lembaga (material dan immaterial) yang luas dalam dan luar negeri.
- Ramainya kegiatan yang menarik dan diminati oleh kader maupun pelajar serta menjadi “rumah kedua” bagi pelajar.
- Memperkuat infrastruktur eselon Badan otonom brigade dan PII wati par excellent.
- Respon aktif terhadap isu kepelajaran dan keumatan oleh Badan Induk(pendidikan dan budaya), PII Wati (anak, pelajar putri, keperempuanan), Brigade (lingkungan dan ketahanan organisasi)
D.
Sasaran Strategis Jangka Pendek
Prioritas
sasaran dari rancangan GBHO 2008-2016 terpapar dalam kerangka jangka pendek
2010-2012 meliputi aspek berikut ini :
Ø Kaderisasi dan SDM
Ø Pembasisan Organisasi
Ø Sistem informasi strategis
Ø Jaringan (Networking) dan
Pencitraan (Image bulding)
Ø Kemandirian Financial
Ø
Sinergisitas
gerakan badan induk dan Badan Otonom
Ø
Kaderisasi
dan SDM
- Melakukan reorientasi visi dan misi kader cendekia yang mampu melakukan peran-peran transformatif di tengah masyarakat.
- Meningkatkan kemampuan keilmuan dan wawasan interdisipliner kader dalam membaca realitas perubahan bangsa dan masyarakat pada umumnya.
- Meningkatkan kemampuan integralisme Islam menuju pemahaman Islam Rahmatan Lil alamin
- Melakukan proses akselerasi Sumber daya Muaddib dalam melakukan penyelenggaraan proses implementasi ta’dib sesuai tantangan kewilayahan.
- Meningkatkan basis kader secara masif(kuantitas) sebagai bentuk pola kaderisasi (recruitment).
- Menyempurnakan sistem kaderisasi PII meliputi revisi panduan training,kursus dan ta’lim
Ø Pembasisan organisasi
- Pembinaan keorganisasian intensif
- Terciptanya budaya organisasi yang sehat dan dinamis
- Pembasisan dengan fokus garap siswa SMP
- Menciptakan media apresiasi pelajar untuk menyalurkan minat, bakat dan kebutuhan pelajar
- Melakukan monitoring dan evaluasi sebagai alat untuk mengukur & meningkatkan kinerja organisasi
- Terbangun kekuatan jama’ah sesama kader & pengurus
- Skill keorganisasian PB-PW-BAKORDA dan PK meningkat
- Pilot project pembasisan (sagiat)
- Menjadi organisasi yang memperjuangkan hak-hak pelajar
Ø Jaringan (Networking) dan Pencitraan (Image bulding)
- Pengembangan mitra strategis berdasar keberpihakan isu dan pola gerakan.
- Mengembangkan peran-peran keumatan melalui jejaring mitra kerja yang produktif.
- Membangun konsep jaringan teritorial baru di geopolitik Asia Pasifik.
- Menumbuhkan jaringan kemitraan yang menopang kualitas akademik kader.
- Sistem inforAliansi strategis dengan organisasi lain untuk memperjuangkan isu pendidikan dan kepelajaran
- Relationship dan partnership program dengan stake holder dalam negeri meningkat
- Menjadi ”corong” kepada media massa untuk sosialisasi program
Ø Sistem informasi strategis
- Pengembangan database lembaga (internal) dalam menopang strategi ekspansi jaringan.
- Melakukan penajaman isu strategis melalui riset dan kajian.
- Memanfaatkan temuan-temuan startegis(riset) untuk menguatkan peran pressure grup dan opinion leader dalam pendidikan dan kepelajaran.
- Melakukan konsolidasi isu dalam segregasi teritorial dan kebijakan programatik.
Ø Kemandirian Financial
- Membangun kemitraan finansial yang mendukung misi dan eksistensi lembaga.
- Meningkatnya kemampuan fundraising & melatih jiwa entrepreneurship
Ø Sinergisitas gerakan badan induk dan Badan
Otonom
- Rekondisi infrasturktur BO brigade dan BO PII wati dalam kerangka pembagaian peran strategis baik secara isu maupun pola kaderisasi.
- Melakukan penajaman isu yang selaras dengan pengembangan kecendekiaan kader serta pola gerakan sebagai pressure grup.
- Membangun ketahanan organisasi dengan mengembangkan kemampuan fisik dan intelegensia sehingga terbentuk sumber daya manusia yang militan, profesional dalam struktur komando BO brigade dalam rangka mendukung misi eksistensi PII pada umumnya.
- Merespon isu kerusakan lingkungan sebagai pendekatan startegi revolusi kebudayaan ole Brigade.
- Melakukan pembinaan kader Tunas usia 6-12 tahun.
- Pembasisan dan pengembangan kader PII wati dengan mengaktifkan sagiat kelompok putri.
- Merespon isu strategis berkaitan dengan masalah anak, pelajar putri, keperempuanan
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI STRATEGI
A. Monitoring
Tujuan dari monitoring adalah memastikan
implementasi strategi berjalan sesuai dengan formulasi strategi. Monitoring
GBHO ini dilakukan oleh seluruh institusi pimpinan dari tingkat pusat sampai
komisariat. Dalam proses monitoring dibutuhkan perangkat – perangkat monitoring
yang valid dan terukur. Perangkat monitoring akan dibuat kemudian oleh Pengurus
Besar dengan memperhatikan masukan-masukan dari institusi pimpinan dibawahnya.
Untuk mendapatkan
data implementasi strategi, diperlukan suatu metode pengumpulan data. Terdiri
dari observasi langsung dan pelaporan. Observasi langsung dilakukan untuk
melihat realitas dilapangan secara objektif. Pelaporan dilakukan oleh institusi
pimpinan dibawah kepada institusi diatasnya. Didalam ART laporan dilakukan 4
bulan sekali.
B.
Evaluasi
Tujuan dari evaluasi ini adalah melakukan koreksi terhadap
implementasi strategi dan kemudian dilakukan perbaikan. Evaluasi strategi
secara formal dilakukan dalam forum-forum sidang pleno. Evaluasi non formal
dilakukan secara continue dan dilakukan setiap saat tidak mengenal batasan
waktu.
Dto Dto
Muhammad Husni Fansury Nst Rasyida Hasanah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Pimpinan Sidang
Muktamar Nasional Ke-27
Pelajar Islam Indonesia (PII)
Dto Dto
Muhammad Husni Fansury Nst Rasyida Hasanah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskalau ada berkas untuk musda, tolong kirim ya kak, berkas induk kami terformat masalahnya. tolong kirim ke ridwanrasta@gmail.com
BalasHapus