Kamis, 22 November 2012

MUNCULNYA GERAKAN PEMBARUAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”,[1] ungkapan al-Jabarti itu hanya merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, tetapi juga menunjukkan bahwa aktivitas ilmiah dikalangan kaum muslim telah berhenti.
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim –para penguasa dan kalangan cendikiawan- gerakan pembaharuan Islam kembali mempertoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secra umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd), dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektuasl tetapi juga pada tataran empiris. Tantangan itu mencul di kalangan kaum muslim hampir secara serentak. Hal ini menyebabkan solusi yang diajukan sangat bervariasi, meski pada umumnya bertujuan sama, yaitu memajukan kembali Islam seperti pada masa keemasan dulu. Walaupun variasi itu tidak selamanya disebabkan oleh kondisi wilayah tempat munculnya gerakan pembaharuan, tetapi lebih-lebih merupakan implikasi dari penafsiran yang berbeda atas teks-teks suci, baik dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Dalam tentang yang panjang, bentuk solusi ada yang merupakan penolakan yang membabi buta, dan adapula yang menerima mentah-mentah.
Makalah ini akan menjelaskan pengertian pembaharuan Islam, konsep yang digunakan. Dari uraian tentang masalah ini, variasi gerakan pembaharuan Islam akan tampak jelas. Ini tidak hanya akan bermanfaat bagi kajian-kajian selanjutnya, tetapi juga dalam upaya mencari titik temu gerakan pembaharuan Islam.

BAB II.
PEMBAHASAN
1.      Pengertian
Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah.[2] Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki –memperbaharui- agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18. tepatnya setelah munculnya gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu uintuk melakukan pembaharuan.
Sejajar dengan artinya, ruang lingkup tajdid meliputi wilayah yang sangat luas, bahkan boleh dikatakan hampir meliputi seluruh bidang kehidupan agama. Dalam sejarah, tajdid mengambil bentuk pemikiran dan gerakan. Secara umum tajdid  merupakan bentuk reaksi kaum muslim menghadapi sejumlah tantangan, baik yang bersifat internal naupun eksternal yang berkaitan dengan doktrin dan masalah-masalah sosial umat Islam.
Dari kata tajdid ini selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya lebih merupakan bentuk tajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi, modernisme dan sebagainya. Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal itu terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun solusi, dalam gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam.
Kata Arab untuk “reformasi”, menunjukkan gerakan reformasi di dunia Islam pada tiga abad terakhir. Dalam konteks Islam modern, kata islah terutama merujuk pada “upaya”. Dalam kamus dan al-Qur’an, kata ini juga bermakna “rekonsiliasi”, artinya lawan penyimpangan,[3] dan kebangkitan. Kebangkitan mempunyai makna yang lebih kuat tentang penguatan imensi spritual dari iman dan prakteknya.[4]
Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya pada doktrin Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mendapatkan momentum ketika Islam berhadapan dengan modernitas pada abad ke-19. pergumulan antara Islam dan modernitas yang berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada abad ke-18 merupakan agenda yang menyita banyak energi dikalangan intelektual muslim. Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan masalah yang pelik, lebih pelik dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan lain. Hal ini karena agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar;. Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi.[5]
Para pembaharu tidak hanya melihat Islam historis sudah tidak lagi sejalan dengan doktrin dasar Islam , tetapi juga tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Islam datang dengan prinsip dan nilai yan menghargai kemajuan. Kaum muslim tidak hanya dituntut taat beribadah, tetapi juga memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan. Tidak heran jika pada masa-masa formatifnya, kaum muslim dengan penuh gairah menyerap peradaban yang berkembangan disekelilingnya. Semangat seperti ini semakin lama kian menyusut akibat berbagai faktor perkembangan di dunia Islam itu sendiri, khususnya faktor merosotnya politik Islam. Dari kondisi inilah, para pembaharu ingin membengun cita ideal Islam yang tidak hanya maju, tetapi juga modern.
Dalam kaitannya dengan itulah, Harun Nasution,[6] mendefinisikan pembaharuan Islam sebagai “pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern”. Dengan pengertian itu tampaknya Nasution mengidentik  pembaharuan Islam dengan modernitas Islam. Kata “modern” berasal dari kata latin modo, yang berarti “masa kini” atau “mutakhir[7]. Dari pengertian modern demikian definisi yang dikemukakan Nasution juga mengandung arti Islam harus mampu menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan zaman.
Gerakan pembaharuan Islam memang pertama kali muncul pada abad modern. Meskipun demikian, sebelum masa modern ini keinginan untuk melakukan pembaharuan sebenarnya bukan sama sekali tidak ada. Di Arab Saudi keinginan itu dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) gerakan yang sejarah Islam dikenal dengan Wahabiyah ini, dilatarbelakangi oleh faktor interen kaum muslim, yaitu faham tauhid kaum awam yang pada waktu itu telah rusak oleh syirik dan bid’ah. Berkat bantuan oleh seorang kepala suku, Muhammad Ibn Su’ud (w.1765), gerakan ini memetik sukses gemilang. Kelak ibn Su’ud mendirikan kerajaan dengan menjadikan wahabi sebagai mazhab resmi negara. Selain pemurnian, Abd Wahab juga melontarkan pendapat tentang terbukanya pintu ijtihad dan boleh dilakukan oleh siapa saja asal bersandar kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Bagai bola salju, pendapat ini terus bergulir kewilayah Islam lainnya, bahkan terus berkembang dan berkumandang hingga hari ini.
Gerakan wahhabi ini selanjutnya disusul oleh gerakan-gerakan lain di afrika. Gerakan di Afrika ini pada umumnya bersifat sufistik. Meski demikian, bukan berarti sama sekali tanpa implikasi politik. Gerakan-gerakan ini bahkan berhasil mendirikan negara-negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal adalah Usman bin Fonjo (1754-1817) di Negeria, Muhammad Ali al-Sanusi (1787) di Libya, dan muhammad Ahmas bin Abdullah (1843-1885) di Sudan, gerakannya dikenal; dengan sebutan “Mahdiyah”.
Gerakan-gerakan pra modern telah mewariskan kepada Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern ini dipicu oleh masalah-masalah intern umat Islam, maka pada tahap berikutnya gerakan pembaharuan Islam lebih di dorong oleh sejumlah faktor eksternal. Antara lain, ancaman politik dari Barat atas Islam, religiokultural, dan kolonialisme.
Tanggapan para tokoh pembaharu di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat terhadap masyarakat muslim terwujud dalam usaha yang sungguh-sunguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan. Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan adabtatif yang menjadi ciri kemajuan Islam pada zaman klasik (650-1250). Yang terutama mendapat tekanan khusus mereka adalah bidang hukum, pendidikan, sains. Selain itu mereka juga menekankan pembaharuan internal melalui reinterpretasi (ijtihad) dan adabtasi secara selektif (Islamisasi) ide-ide dan teknologi Barat. Dari sinilah kemudian dikenal konsep-konsep Barat seperti demokrasi, hak asasi, nasionalisme, dan sebagainya. Pembaharuan dalam Islam pada hakekatnya merupakan usaha kritik diri dari perjuangan untuk menegaskan bahwa Islam selalu relevan menghadapi situasi-situasi baru yang dihadapi oleh masyarakat Islam.

2.      Bentuk Pembaharuan
Gerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap.[8] Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang.
Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:[9] pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.
Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.
Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.
Dalam ketiga tahap itulah muncul gerakan tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan soludi bagi masa depannya.

BAB III
PENUTUP
Kemunculan gerakan pembaharuan Islam tidak bisa dipisahkan dari kondisi obyektif kaum muslim di satu sisi dan tantangan Barat yang muncul di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut pandang ini, Islam memang menghadapi tantangan dari dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar. Dengan demikian, Pengertian pembaharuan bukan hanya mencakup perbaikan kondisi obyektif masyarakat muslim, tetapi juga mencakup jawaban Islam atas tantangan modernitas.
Pembaharuan Islam juga mngindikasikan ketidakpuasan atas kondisi Islam historis yang berkembang sejak abad ke-18. oleh karena itu, kaum pembaru ingin membangun cita ideal Islam yang maju dan modern.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), jilid V

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 2001, jilid 2, cet. I,

Harun Nasution dan Azyumarni azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996),

David B.Guralnik, Websters New World Dictionary of the American Language, New York: Warners Book, 1987

Fazlur Rahman, “Islam; An Overview.” Dalam Elliade Mercia (ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macurian Publising Hause, 1987




[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 31
[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), jilid V, h. 42

[3] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), (Bandung: Penerbit Mizan, 2001) jilid 2, cet. I, h.345. Reformasi dalam konteks Islam harus dibedakan dengan reformisme dalam Kristen. Kaum reformis Islam tidak mengklaim bahwa Islam itu sendiri perlu diperbarui, tetapi berbagai salah paham dan salah tafsir telah mendistorsi sebagian makna sejati dari nash-nash sehingga memunculkan sejumlah praktek keliru. Dengan demikian, reformisme Islam merupakan gerakan yang bertujuan mengembalikan Islam ke pesan aslinya, dengan tekanan teologis pada kesamaan.

[4] Ibid.,seruang kebangkitan dan pembaharuan muncul dari dikenalinya gejala keterbelakangan dan stagnasi pemikir agama pada masyarakat muslim pada abad –19.

[5] Harun Nasution dan Azyumarni azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), h. 1
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 11-12

[7] David B.Guralnik, Websters New World Dictionary of the American Language, (New York: Warners Book, 1987), h. 387

[8] Fazlur Rahman, “Islam; An Overview.” Dalam Elliade Mercia (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macurian Publising Hause, 1987), h. 18
[9] Ibid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar