Sabtu, 24 November 2012

RATIFIKASI (legal proces)

BAB I
PENDAHULUAN

Perjanjian internasional memainkan peranan penting dalam mengatur hidup dan hubungan antar Negara dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak diatur dalam perjanjian internasional (Baca pula Boer Mauna ,2000:82). Hal tersebut didorong oleh perkembangan pergaulan internasional , baik yang bersifat bilateral maupun global. Perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh karena semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang berdampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia .

Perbuatan perjanjian internasional (treaty) yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik secara khusus maupun umum (universal) merupakan salah satu sarana yang efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan yang timbul sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan kedamaian untuk manusia (www. dfa- department luar negeri go.id) . Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian – perjanjian internasional hanya diatur dalam hukum kebiasaan . Selanjutnya diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treattes yang ditandatangani 23 Mei 1969 , dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif (Boer Mauna,2000:83).

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan perjanjian internasional ialah yang biasa disebut dengan traktat(treaty) yaitu suatu sebutan atau istilah untuk perjanjian internasional pada umumnya. treaty merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis dan seterusnya ,sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional . Pengertian lainnya terdapat Undang – Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No . 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional . Dengan demikian , perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan – ketentuan yang mempunyai akibat hukum Dalam hukum internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban – kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara –negara untuk melaksanakan dengan itikat baik kewajiban – kewajibannya(Lihat F. Isjwara , 1972:201). Perjanjian internasioanal dimuka dapat terlihat bahwa perjanjian internasional (traktat) selalu bertujuan meletakkan kewajiban – kewajiban yang mengikat terhadap negara- negara peserta . Pada umumnya perjanjian internasional akan segera mengikat bagi negara – negara pesertanya apabila telah melalui proses ratifikasi.

Perubahan (Change)


Perubahan (Change)

Internal Change

Jadikan PII adalah model dari Kesempurnaan Pendidikan dan Kebudayaan itu

  • Harmonisasi kepengurusan PII di Badan Induk serta badan Otonom 
  • Mengahapus kebijakan-kebijakan blunder acara kerjasama PB - PW dengan sistem pendanaan kaku, tapi diganti dengan kebijakan yang lebih partisipatorik, transparan, dan win-win solution 
  • Perubahan sistem asrama PB PII yang lebih bersih, tertib, teratur, ramah, terbuka, dan membanggakan untuk seluruh kader PII seluruh Indonesia 
  • Pengelolaan manajemen PB PII yang lebih profesional, penataan ruang dan interior yang nyaman untuk bekerja, serta sistem administrasi yang teratur, cepat, dan tepat 
  • Pemasangan nomor telepon bebas pulsa (sistem hunting) untuk pelayan internal PII dan Hotline Services pelayanan masyarakat pelajar di seluruh indonesia 
  • Melakukan turba simultan, kunjungan langsung ke daerah-daerah di seluruh Indonesia dengan target utama pembentukan komisariat2 'bagai jamur di musim hujan' dengan berbagai potensi, media, dan kesempatan yang dimiliki daerah-daerah yang bersangkutan 
  • Konsistensi follow up pembinaan dan control - hasil turba simultan 
  • mplementasi sistem ta'dib lebih fleksibel untuk masing-masing wilayah dengan tetap memperhatikan dan meningkatkan kualitas pengelolaan sistem pelatihan (kualitas input, proses, dan output pelatihan) 


External Change

PII more better, more different, more benefit

  • Konsisiten membangun jaringan dengan kelompok2 strategis yang berpengaruh dalam proses perubahan kebijakan2 signifikan di negara
  • Konsisiten dalam memelopori persatuan ummat

Jumat, 23 November 2012

Strategi Implementasi Konsep Perubahan


Strategi Implementasi Konsep Perubahan

Strategi Internal

Strategi Politikal
Cara menjalankan perubahan dari atas ke bawah (top-down). Inisiatif perubahan datang dari atas, dari eselon wilayah yang paling tinggi Ketua Umum kepada anggota BPH  untuk diteruskan ke Badan Pelaksana.  Dari Pengurus Besar sebagai eselon tertinggi, dan kemudian ditawarkan ke eselon dua (PW), tiga (PD) dan empat (PK). Strategi politikal akan berjalan relatif cepat, namun apabila tidak diikuti  dengan strategi lain dampaknya hanya dipermukaan saja (tingkat kepengurusan), tidak merembes ke kader. Strategi ini ditempuh bila keadaan dirasakan sangat mendesak sehingga perubahan harus dilakukan dengan cepat

Strategi Informasional

Cara menjalankan perubahan dengan memberikan informasi untuk menumbuhkan dan menguatkan kebutuhan untuk melakukan perubahan & memperlemah perlawanan terhadap perubahan  Di sini diasumsikan bahwa aparat/kader PII akan tergugah untuk melakukan dan menerima perubahan apabila mereka memiliki pengetahuan berdasarkan informasi atau fakta tentang keadaan organisasi di lingkungan eksternal. Strategi informasional berlangsung lebih lambat dari strategi politikal, namun pengaruhnya lebih dalam.

Strategi Fasilitatif

Cara menjalankan perubahan dengan membantu kelompok yang hendak berubah supaya mereka lebih mudah menghadapi keadaan baru. Bantuan ini dapat berbentuk penyediaan sumber daya atau sarana, atau memberikan kesempatan untuk memperoleh kehlian atau pengetahuan baru yang diperlukan untuk menghadapi perubahan.

Strategi Attitudinal

Cara perubahan yang memprioritaskan perubahan sikap, yang pada gilirannya akan mengubah tingkah laku. Strategi attitudinal mengutamakan organisasi yang berdampak luas dan berkelanjutan pada cara pandang dan tingkah laku. Ada tiga tahap dalam proses perubahan sikap ini, yaitu tahap “unfreezing”, “moving” dan “refreezing”. Tahap unfreezing adalah tahap menjauhkan diri atau melepaskan sikap lama, tahap moving adalah tahap menerima dan menumbuhkan sikap baru, dan tahap refreezing adalah tahap memantapkan, mengukuhkan, menstabilkan sikap baru.

Strategi External

Strategi dalam upaya kompetisi dengan lingkungan eksternal, hal ini diperlukan sebab penyikapan PII yang makin terbuka terhadap lingkup eksternal menyebabkan potensi tarik-menarik bidang garap yang sama antara PII dengan ormas keislaman atau organisasi yang berbasis pelajar/santri lainnya. Disinilah perlu dikembangkan semangat berkompetisi yang sehat dalam kebaikan dan menghargai eksistensi satu sama lain serta menjunjung tinggi etika Islam. 
Dalam menghadapi kompetisi diperlukan daya saing. Tiga alternatif yang bisa diupayakan dalam meningkatkan daya saing PII sesuai dengan  tuntutan kondisi meliputi apakah organisasi PII Need to be better  (dituntut untuk lebih baik), Need to be different (dituntut untuk berbeda), dan Need to be smaller (dituntut untuk lebih ringkas)
Tuntutan untuk lebih baik dilakukan melalui reengineering processes (perbaikan metode dan teknik pada proses yang dilakukan) dan continuous improvement (peningkatan yang terus menerus) sedangkan tuntutan untuk berbeda dilakukan dengan reinventing activities/programe (inventarisasi kembali aktivitas/program) dan regenerating strategies (regenerasi strategi).
Strategi kompetitif tersebut bertumpu pada :

  1. Positioning, yang ditandai dengan upaya menyesuaikan struktur PII dengan kekuatan dan kelemahan organisasi PII 
  2. Influencing the balance, ditandai dengan inovasi sosialisasi dan pelaksanaan program serta upaya differensiasi atas program / aktivitas 
  3. Exploiting change, ditandai dengan upaya menumbuhkan program, aktivitas dan kultur baru 
  4. Diversification strategy, ditandai dengan pengembangan strategi-straegi baru dalam mengadaptasi perubahan-perubahan baru

Otokritik Dua Puluh Lima Kekeliruan Kalangan Islam


  1. Senang membuat kerumunan, tidak rajin menggalang barisan 
  2. Suka marah, tidak suka melakukan perlawana
  3. Reaktif, bukan proaktif 
  4. Suka terpesona oleh keaktoran, bukan oleh wacana atau isme yang diproduksi/dimiliki aktor 
  5. Sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi 
  6. Gemar membuat organisasi, kurang mampu membuat jaringan 
  7. Cenderung memahami segala sesuatu secara simplistis/sederhana, kurang suka dengan kerumitan-kecanggihan padahal inilah adanya segala sesuatu itu 
  8. Sering berpikir linier tentang sejarah, kurang suka bersusah-susah memahami sejarah dengan rumus dialektika atau sinergi 
  9. Enggan melihat diri sendiri sebagai tumpuan perubahan, sebaliknya cenderung berharap perubahan dari atas/para pemimpin 
  10. Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda 
  11. Cenderung memahami dan menjalani segala sesuatu secara parsial tidak secara integral (kaffah) 
  12. Senang bergumul dengan soal-soal jangka pendek, kurang telaten mengurusi agenda jangka panjang 
  13. Terus menerus menyerang musuh di markas besarnya, abai pada prioritas pertama menyerang musuh pada gudang amunisinya 
  14. Kerap menjadikan politik sebagai tujuan, bukan politik sebagai alat 
  15. Senang mengandalkan dan memobilisasi orang banyak atau massa untuk segala sesuatu, abai pada fakta bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu digarap pertama-tama oleh creative minority 
  16. Senang berpikir bagaimana memakmurkan masjid, kurang giat dan serius berpikir bagaimana memakmurkan jemaah masjid 
  17. Senang menghapalkan tujuan sambil mengabaikan pentingnya metode, tidak berusaha memahami dengan baik tujuan itu sambil terus menerus mengasah metode 
  18. Senang merebut masa depan dengan meninggalkan hari ini atau merebut hari ini tanpa kerangka masa depan, bukannya merebut masa depan dengan mencoba merebut hari ini 
  19. Sangat pandai membongkar dan membongkar, kurang pandai membongkar pasang 
  20. Sangat cepat dan gegabah merumuskan musuh baru (dan lama), sangat lamban dan enggan merangkul kawan baru 
  21. Gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan sosial 
  22. Selalu ingin cepat meraih hasil, melupakan keharusan untuk bersabar 
  23. Senang menawarkan program revolusioner tapi abai membangun infrastruktur revolusi 
  24. Selalu berusaha membuat politik sebagai hitam putih, bukannya penuh warna tak terhingga 
  25. Sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain kurang suka melihat intropeksi

GBHO PII Tahun 2010-2018





GARIS-GARIS BESAR HALUAN ORGANISASI
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
TAHUN  2010 - 2018

BAB I
MUQODDIMAH
            Tujuan PII untuk mewujudkan Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan ummat manusia, merupakan tujuan yang berangkat dari ekspektasi masyarakat dari ragam perspektif. Tujuan ini juga bersifat dinamis, yang disetting sesuai sosio-historis masyarakat Indonesia dalam wilayah dakwahnya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hingga saat ini tidak ada perubahan dalam tujuan PII, karena PII masih meyakini bahwa untuk menciptakan masyarakat Islam yang unggul dan bermartabat dengan ridho Allah (Izzul Islam wal Muslimin), Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan menjadi langkah yang terlebih dahulu harus ditempuh. Tujuan ini senantiasa diilhami oleh Islam sebagai sumber nilai, pandangan hidup dan pandangan dunia, serta menjadi basis dari terwujudnya masyarakat Islami yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
            Pendidikan dalam Islam merupakan usaha sadar untuk mempersiapkan manusia agar mampu mengemban amanah sebagai Hamba Allah dan Khalifah fil Ardh, melalui proses yang dilakukan secara sistematis, simultan dan bobot yang semakin tinggi, dengan memberikan pembekalan dan penbentukan sikap, penambahan wawasan dan pengetahuan, serta pemberian bekal keterampilan.
            Kebudayaan sebagai pondasi dasar kemasyarakatan merupakan out put dari pendidikan individu dalam arti luas, dimana individu dan kelompok secara dialogis berproses dalam aktualisasi kehidupan. Dengan demikian wujud dan eksistensinya akan sangat bergantung bagaimana individu berproses dalam dialektika kehidupan. Kebudayaan yang sesuai dengan Islam adalah sistem simbol dan sistem nilai dalam suatu tatanan masyarakat yang dibentuk oleh nilai-nilai ilahiyah melalui proses  transendentalisasi (tazkiyah).
            Dalam perjuangan mewujudkan cita-citanya menuju Izzul Islam Wal Muslimin, PII membutuhkan kader-kader yang mampu menjadi pelopor, penggerak, pemersatu dan penjaga kelangsungan misi dan eksistensi perjuangannya, sekaligus konsistensi karakteristik kadernya meneruskan cita-cita PII dalam kehidupan bermasyarakat pasca aktivitasnya di PII. Kader demikian akan lahir dari sebuah proses yang terencana dengan baik, secara bertahap, sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Proses perencanaan tersebut tertuang dalam sebuah Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), sebagai pedoman arah pembinaan dan pengembangan kader.
A.      PENGERTIAN
Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) PII sebagai rumusan kebijakan strategis, rencana strategis dan program strategis organisasi yang tersusun secara sistematis, terarah, bertahap dan terpadu dalam menjabarkan dan mengimplementasikan cita-cita perjuangan PII dan tujuan organisasi PII. Rumusan kebijakan, rencana dan program organisasi ini disusun untuk kurun waktu 8 (delapan) tahun yang terdiri dari program jangka panjang (tahun 2010 sampai dengan 2018) untuk 4 (empat) periode kepengurusan (2010-2012, 2012-2014, 2014-2016, 2016-2018) dengan memfokuskan pada sasaran jangka pendek setiap periodesasi kepengurusan.
GBHO ini mestilah ditempatkan sebagai proses kelanjutan, peningkatan, perluasan dan pembaharuan terhadap GBHO sebelumnya, dengan mempertimbangkan sepenuhnya keadaan lingkungan internal dan eksternal, dan kendala-kendala yang menghambat pelaksanaannya. GBHO ini kemudian dijabarkan kembali dalam program kerja jangka pendek di setiap eselon organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
B.        MAKSUD


Penyusunan Garis Besar Haluan Organisasi dimaksudkan untuk :

  1. Menjadi landasan untuk pendayagunaan, pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya organisasi secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan
  2. Memberikan bingkai dan koridor dalam proses sinkronisasi dan penjabaran kebijakan dan program organisasi dari tingkat pusat hingga komisariat, baik vertikal maupun horisontal
  3. Mensinergikan langkah-langkah organisasi dan memfokuskan segala aktivitas pencapaian tujuan PII ke dalam tahapan dan tujuan-tujuan antara dalam kurun waktu 6 (enam) tahun ke depan
  4. Menjadi landasan dalam penyusunan format struktur organisasi, mekanisme dan pembagian kerja di setiap eselon kepengurusan dan badan-badan pembantu pimpinan dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan dan program organisasi.

C.      LANDASAN

Ideal (Normatif) :
  • Al Quraan dan
  • As Sunnah
Filosofis :

  • Falsafah Gerakan PII
  • Khittah Perjuangan PII 
 Konstitusional (Operasional) :
  • Anggaran Dasar PII
  • Anggaran Rumah Tangga PII.


BAB II

WACANA PROBLEMATIKA PII KEKINIAN

Kelima, Tokoh Politik (political figure). Yang menggerakkan roda perpolitakan dalam sebuah negara. Tokoh berkaitan erat dengan individu, pertanyaan yang seringkali muncul dan menimbulkan masalah jika tak tepat menjawabnya adalah apakah tokoh politik ini dapat menjadi figure yang dapat dipercaya dan diikuti. Mengingat begitu banyak tokoh yang tak memberikan contoh yang baik malah sebaliknya. Berpolitik dengan gaya Macheaveli.
Indeks pembangunan pendidikan atau EDI (Education Development Index) Indonesia tahun 2007 mengalami penurunan. Indeks yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) dan dipublikasikan dalam Global Monitoring Report dikeluarkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO). Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat katagori penilaian, yakni angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, dan angka pertahan siswa hingga kelas 5 SD. Laporan terakhir pada November 2007 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 62 dan berada pada katagori sedang, bersama 53 negara lainnya. Peringkat ini mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang menduduki posisi 58. Sebagai bandingan, Malaysia yang sebelumnya menduduki peringkat 62 naik peringkatnya menjadi 56.

Tahun
1998-2000 
2000-2002
2002-2004
2004-2006
2006-2008
2008-2010
Periodesisasi
Djayadi                
Abdi R
Zulfikar
Delianur
Zaid Makarma
Nasrullah
ADV
205
276        
210
171
180
139
PID
93
237
122
176
169
141

  1. Adanya kesadaran profetik pada diri kader yang memungkinkan energi kesalehan mengiringi sikap dan tindakannya.
  1. Adanya kepedulian yang tinggi (sense of responsibility) pada segenap kader terhadap kondisi keummatan, terutama yang terkait dengan bidang garapnya, yakni dakwah, pendidikan dan kebudayaan.
  1. Adanya kemampuan interdisipliner dalam diri kader terkait dengan problematika yang terjadi di masyarakat.
  1. Adanya keterdekatan yang intens pada  diri kader (pengurus) terhadap realitas kepelajaran. Keterdekatan itu bisa muncul jika rentang usia kader (pengurus) tidak terlalu jauh dari rentang usia pelajar sebagai subjek garapnya. Dalam hal ini peremajaan usia aktif  menemukan signifikansinya.
  1. Struktur kepengurusan menjadi ruang sosial yang memungkinkan kader untuk belajar berbasis problem dan belajar berbasis aktivitas kreatif. Prasyaratnya adalah bahwa dalam struktur, kader tidak banyak terbebani oleh aktivitas yang bersifat rutinitas struktur.
  1. Adanya regenerasi yang efektif berbasiskan sistem kaderisasi yang berkesinambungan
  1. Adanya sistem pendidikan kader(isasi) yang terbuka dan berperan dalam kemanfaatan umat dengan mengacu proses transisi
  1. Banyaknya kader cair yang terlibat dalam aktivitas yang dibuat eselon di tingkat  bawah (komisariat maupun daerah) sehingga kader inti terrekrut secara selektif.
  1. Adanya keterbukaan lembaga dalam berinteraksi dengan beragam elemen (lembaga/pihak lain) yang bisa menyokong peran (missi dan eksistensinya) di masyarakat, dengan mengacu pada asas independensi dan interdependensi.



A.   Wacana Problematika Eksternal
1.        Umat Islam
Kongres Umat Islam (KUI) tanggal 7-10 Mei 2010 yang dipelopori oleh MUI telah berakhir, ada beberapa agenda yang dijadikan issue umat Islam dalam forum nasional tersebut antara lain: pertama, wacana keislaman yang berkembang di Indonesia masih lebih dominan kepada unsur ibadah dan tasawufnya dan pengertian ibadah disini juga masih lebih terbatas pada sisi mahdlahnya, sehingga kiprah keberislaman itu belum banyak bergerak dari kepentingan masing-masing personal.
Kedua, setelah sekian lama merdeka umat Islam Indonesia umumnya, masih berada di garis periperal (pinggiran) dalam berbagai pranata sosial mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, politik, , hukum dan sebagainya padahal umat Islam mengakui bahwa al islamu ya’lu wa la yu’la alaihi bahwa Islam itu tinggi mengungguli yang lain-lain dalam konsep kehidupan. Ketiga, umat Islam sekarang ini disibukkan untuk memilih sikap pembelaan diri sebagai akibat dari opini yang berkembang di dunia barat tentang apa yang disebut Islamophobia yang meletakkan stigma terhadap Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, padahal secara etimologi ajaran Islam tidak mengajakan hal itu. Akibatnya umat Islam tersita perhatiannya untuk mengambil sikap defensif-apologetik untuk melakukan pembelaan terhadap Islam mengingat derasnya tuduhan yang dialamat oponi dunia barat terhadap muslim,
Keempat, pentingnya pendidikan Islam dalam lingkaran pondok pesantren. Pondok pesantren telah telah berhasil menempatkan dirinya sebagai wahana kaderisasi para pemimpin umat, terbukti dari banyaknya ulama, kiai, ustadz yang menjadi pejabat baik eksekutif maupun legislatif. Kelima, peran umat Islam dibidang politik pada masa lalu sulit diikuti perkembangannya oleh para ulama, akibat dari terjadinya pragmatisasi politik yang tercerabut dari idealisme yang berakar dari budaya bangsa, ditambah lagi dengan format politik yang lebih berakar keatas, sehingga yang menjadi rujukan dalam politik adalah pejabat-pejabat birokrasi.  
                Kelima Issue diatas adalah bagian kecil dari banyaknya problem umat Islam kekinian, tentu memerlukan upaya yang terus dengan mensinergikan semua potensi kelompok umat Islam dari berbagai bentuk dan garis perjuangan. Senada dengan yang dikatakan oleh KH.Sahal Mahfudh :
“Untuk itu diperlukan adanya sinergi antar komponen umat Islam di Indonesia yang memiliki kemajemukan yang sangat tinggi dari aspek suku, bahasa, afiliasi politik, paham keagamaan dan pilihan strategi perkhidmatan dan amal usaha”
            Problem umat Islam atau elite umat Islam (Ulama,kiai,ustadz) yang tak kalah pentingnya adalah pembinaan umat sampai ke institusi dan level yang paling bawah termasuk pelajar. Indikasi lemahnya pembinaan tersebut adalah bermunculannya aliran sesat hingga hari ini dan pembinaan (pembibitan) para pelajar dan mahasiswa untuk aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Pembinaan yang berkelanjutan dikalangan pelajar, sekolah dan masjid untuk mempersiapan SDM handal yang melek tehnologi dan berakhlak baik adalah sebuah keniscayaan.
2.        Politik
Berbicara politik maka tidak bisa dilepaskan dari infrastruktur yang menjadi pilar tegaknya politik itu dalam suatu negara. Menurut S.Pamudji dalam bukunya Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, setidaknya ada lima komponen yang menjadi pilar politik tersebut. meliputi; partai politik (political party), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure).
Pertama, Partai Politik. Partai politik merupakan kendaraan untuk mencapai pucuk kepemimpinan atau lebih tepat disebut kekuasaan baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Idealnya partai politik merupakan gerakan ideologis yang mengusung pada identitas dan keberpihakan pada nilai - nilai idealisme, dan yang penting adalah tidak berbicara kalah atau menang tapi bicara perjuangan dan cita-cita. Realitanya, di negara berkembang seperti Indonesia, gerakan politik merupakan gerakan politik citra yang bersifat pragmatis dimana orientasinya lebih pada membangun opini, citra positif dan iklan yang berorientasi pada perolehan suara.
Kedua, Kelompok Kepentingan. Bisa kita maksudkan masyarakat itu sendiri (civil society) dan penyelenggara negara. Dalam struktur legal-formal negara Republik model Indonesia kepentingan Rakyat dan Penguasa (pemerintah) tak dapat dipisahkan. Dalam konteks pemerintahan yang baik menurut Ryaas Rasyid, rakyat harus selalu dihadirkan dalam setiap proses perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan negara dan pemerintah. Negara dan pemerintah tidak selayaknya membuat keputusan dalam kevakuman nilai kerakyatan. Sedangkan rakyat sebagai pihak yang memandatariskan kekuasaan pada elit pemerintah harus bekerjasama dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Kondisi ideal ini seringkali kontras dengan apa yang terjadi pada kenyataannya dimana pihak penguasa (eksukitif,legislatif dan yudikatif) seringkali mengingkari amanah rakyat yang telah di embankan kepada mereka. Akibatnya timbul ketimpangan sosial antara pemerintah dan rakyat yang berjalan tidak sinergis.
Ketiga, Kelompok Penekan (pressure group), yang bisa kita kelompokkan menjadi kekuatan pengamanan (polisi) dan kekuatan ketahanan (TNI). Keempat, Media Komunikasi Politik (political communication media), yang akhir-akhir ini kita saksikan begitu gamblang dan transfaran menampilkan tontonan-tontonan tentang ekspresi politik masyarakat atau penguasa (negara). Bahkan seringkali menampilkan aktor-aktor politik penguasa yang bejat tak punya hati nurani menindas dan menginjak-injak hak dan derajat masyarakat kecil.
Setelah menguraikan lima pilar politik tersebut diatas tentu kekuatan pemuda-pelajar tak dapat dipisahkan dari komponen politik bangsa ini. Pada aspirasi politik, potensi pemilih pemula yang melekat pada diri mereka punya modal suara yang cukup signifikan (30% dari jumlah seluruh suara pemilih) dalam menentukan sikap politiknya. Walaupun kalangan ini seringkali hanya menjadi objek para elit yang mempunyai orientasi pragmatis dan sesaat tanpa memperhatikan nilai etik dan kesantunan yang dapat dijadikan contoh, apalagi berbicara kepentingan pemuda-pelajar diatas begitu banyak agenda yang harus dititpkan kepada pemegang kekuasaan ini (para elit pemerintah, Dewan Perwakilan dan Aparat).
Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa di tangan pemuda-pelajar inilah nasib kepemimpinan mendepan dipertaruhkan. Jika baik generasi pemuda-pelajar hari ini, maka akan baik pula keberlangsungan kepemimpinan mendepan. Sehingga fungsi-fungsi pembinaan dan pendidikan politik hendaknya dimulai sedini mungkin. Adalah menjadi tanggung kawab semua komponen politik diatas untuk memberikan kecerdasan politik bagi para cikal bakal pemimpin masa depan ini. Bukan sebaliknya berkonsfirasi melakukan pembodahan dan mengiming-imingin kekuasaan dengan buru-buru melibatkan mereka pada dunia politik praktis yang penuh intrik dan kadang tak beradab.
Ciri khas gerakan pemuda-pelajar ini adalah dengan mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan terhadap lingkungan sekitarnya. Gerakan moral ini diakui pula oleh Arief Budiman yang menilai sebenarnya sikap moral pemuda-pelajar lahir dari karakteristiknya mereka sendiri. Pemuda-Pelajar tulis Arief Budiman, sering menekankan peranannya sebagai “kekuatan moral” dan bukannya “kekuatan politik, selanjutnya Arbi Sanit memperkuat landasan di atas dengan menyataka komitmen pemuda-pelajar yang masih murni terhadap moral berdasarkan pergulatan keseharian mereka dalam mencari dan menemukan kebenaran lewat ilmu pengetahuan yang digeluti adalah sadar politik. Karena itu politik pemuda-pelajar digolongkan sebagai kekuatan moral.
PII sebagai bagian dari entitas pengusung gerakan moral (dakwah) yang mempunyai tujuan profetik untuk mewujudkan kemasyarakatan Islam  menuju khairu ummat, baldah thoyyibah wa rabbun ghafur yag sejak berdirinya telah menjadi mata rantai perjuangan ummat bisa melakukan peranan signifikan. Jika mau diuraikan fokus gerak PII sebagai pengusung kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sangat luas dan ideal. Nilai yang ditawarkanpun sangat strategis karena dari pendidikan dan kebudayaanlah pola sikap dan akhlak itu berawal sehingga dalam seluruh proses tersebut azas independensi dan interpendensi harus senantiasa menjadi landasan gerakan PII.
3.        Pendidikan
Pendidikan merupakan pilar masyarakat yang jadi dalih atas maju dan mundurnya peradaban suatu bangsa. Mulai dari peradaban Athena dan Sparta di Yunani sampai peradaban Jepang melalui Restorasi Meiji, kemajuan bertumpu pada satu bunyi: bangsa manapun yang becus mengurus pendidikannya maka tunggulah saat-saat keemasannya. Tapi bunyi ini tidak terdengar nyaring di negeri kita, Indonesia, tertutup oleh beragam bunyi-bunyian bising yang mengacaukan: ambisi politik-kekuasaan, hasrat ekonomi-kekayaan, dan kepentingan bersama yang dipersonalisasi.
Gerak tumbuh kembang pendidikan bangsa ini bersumber dalam satu sulutan sumbu, yakni kebijakan pendidikan nasional. Pelaku pendidikan yang lain hanya sebagai makmum khusuk, kalau tidak mau berada di luar mainstream—yang berarti tidak ambil bagian.
Anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 tidak kunjung terealisasi. Yang muncul belakangan adalah rasionalisasi, bahwa 20 persen anggaran pendidikan itu sudah termasuk gaji guru. Alih-alih beralasan realisasinya tidaklah mungkin, kebocoran anggaran terjadi dimana-mana. Disinyalir, Depdiknas merupakan satu dari departemen yang tinggi tingkat kebocoran anggarannya. Namun, saat pemerintah pusat menutup mata dengan realisasi anggaran pendidikan, beberapa kota/kabupaten terbukti bersungguh-sungguh mengalokasikan anggaran daerah untuk pendidikan, seperti Kabupaten Jembrana, Musi Banyuasin, Kutai Kartanegara.
Pemerintah masih menerapkan kebijakan yang tidak populer, yakni menyelenggarakan Ujian Nasional sekaligus sebagai standarisasi dan kelulusan. Kalau sebagai standarisasi nasional itu tidak terlalu dirisaukan, tapi kalau sebagai ‘vonis mati’ bagi pelajar, ini yang membuat pendidikan formal seakan menatap potensi manusia hanya lewat mata sebelah. Betapa tidak, potensi pelajar hanya diukur dalam nominalisasi kognitif hasil ujian beberapa mata pelajaran. Begitu pula halnya pergantian kurikulum yang membuat arah pendidikan tidak jelas serta kebijakan di sekolah yang mempersempit ruang gerak pelajar dengan adanya fullday school.
Akhirnya pelajar, sebagaimana disebut tadi, hanya khusuk mengikut. Padamulanya belajar itu baik, namun jadi tidak baik jika overload dan tidak merata. Pelajar terkuras energi dan waktunya untuk mengurus mata pelajaran tertentu, sementara buku-buku hidup melalui interaksi pelajar di masyarakat hanya jadi lembaran-lembaran usang dan malas dibuka. Indikasinya : pelajar berada di sekolah sesiang suntuk menerima pelajaran, pelajar berbondong-bondong mengasah kemahiran menjawab soal di bimbingan belajar, sedangkan mengikuti kegiatan di luar, termasuk berorganisasi, hanya ditempatkan dalam nomor urut kegiatan yang paling buntut.
Belum lagi persolan moralitas pelajar yang kian bobrok tidak sebanding dengan pendidikan agama, dimana merupakan salah satu pilar pendidikan moral secara formal. Dimana frekuensi kurikulum pendidikan agama hanya dianggap bagian kecil dibanding pengajaran berbagai macam mata pelajaran yang kurang menitikberatkan akan dimensi peningkatan moralitas. Terlebih persoalan dikotomi akan sekolah umum dan madrasah yang semakin memarginalkan peran dan posisi sekolah agama.
4.        Sosial dan Budaya
Segalanya bermula dari pikiran. Ini dianut oleh Descartesian dan aliran psikologi kognitif. Pernyataan ini dipakai sebagai penguat premis bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh pikirannya, atau seseorang dapat bertindak benar jika diawali dengan pikiran yang benar. Namun, dalam kompleksitas hidup saat ini seseorang dapat bertindak luput dari kesesuaiannya dengan apa yang dipikirkan. ‘Kebudayaan merupakan suatu proses belajar’ begitu kata C.A. Van Peursen. Dengan beragam perkembangan sosial-budaya di era globalisasi sekarang ini, dengan sajian-sajian informasi yang tidak pernah putus, kita lupa untuk belajar dari segala kejadian dan infomasi. Dus, saat enggan belajar dari beragam fenomena yang kasat mata, seseorang dapat terjebak pada pikiran dan tindakan yang justru, tidak berbudaya.
Kebebasan berpendapat dalam ruang demokrasi dijawab dengan kekerasan di sana-sini, kebebasan dalam ekspresi dijawab dengan apresiasi atas estetika murahan, keragaman dalam keyakinan dijawab dengan keberagamaan yang sempit, kewenangan untuk mengelola negeri dijawab dengan kesewenang-wenangan demi diri sendiri.
Arus deras globalisasi berarti jalan baru bagi lalu-lalang nilai, norma, gaya hidup dan paham dari beragam sumber. Pengaruhnya bisa mencengkeram sampai area yang paling subtil : cara makan—termasuk jenis makanan yang dikonsumsi, cara tidur—baju yang digunakan untuk tidur, cara mandi—shampo apa yang dipakai untuk membersihkan rambut, cara berkeluarga—rumah seperti apa yang dibeli untuk dihuni. Terlebih lagi, pertimbangan pilihan kegunaan suatu barang atau jasa tidak memakai alasan fungsional, tetapi lebih pada prestise di masyarakat agar dipandang maju, modern dan tidak ketinggalan zaman.
Di kalangan pelajar, pengaruh gaya hidup global lebih-lebih lagi terlihat dan menyisakan kesimpulan bahwa sesunguhnya pelajar dalam posisi yang menegaskan kelabilan emosinya. Gaya hidup yang dipengaruhi oleh teman sebaya dan factor lingkungan menunjukkan tingkat kelabilan itu. Pelajar bukan mampu memengaruhi, tetapi dipengaruhi. Atas kelabilan emosi itu pelajar mudah tergiring oleh jebakan-jebakan yang mengatasnamakan tren. Disini, pilihan perilaku yang mengedepankan pertimbangan rasional susah mendapat tempat. Pelajar makin terjauhkan dari pertimbangan pilihan tindakan yang bersifat otonom. Maka menjadi keharusan untuk mengambil sikap counter dan filter. Dimana counter (penolakan) ditujukan pada berbagai budaya yang cenderung destruktif dan filter (penyaringan) digunakan sebagai sikap akan inklusivitas yang selektif demi kemajuan.
5.        Ekonomi
Makin lama krisis ekonomi dilalui, yang hadir justru krisis ekonomi yang menjadi-jadi. Kita jadi bangsa yang tidak berkuasa atas penyakit yang diderita sendiri. Bukan bangsa yang mandiri, tapi justru bangsa yang mengandalkan negara lain sebagai dokter mujarab.
Situs-situs ekonomi neoliberal makin jelas mengakar. Shell dan Petronas membayangi Pertamina yang dirundung rugi tiap tutup buku. Penyedia layanan komunikasi ternyata didominasi kepemilikannya oleh negeri jiran. Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) memungkinkan investor asing memperpanjang kontraknya selama hampir sampai satu abad. Sumber daya alam disedot oleh pihak asing dengan jatah bagi negeri sendiri yang terlalu minim. Kita jadi bangsa yang tidak berdaya di depan sorot mata pemilik modal yang rakus.
Ekonomi mikro menunjukkan kondisi yang tidak layak dijalani. Banyak usaha kecil yang gulung tikar karena kekurangan modal. Ditambah lagi dengan naiknya BBM yang merupakan azab ekonomi yang tidak berhenti pada hari kemarin, tetapi merupakan kenyataan yng akan terus berulang dengan kenaikan yang kian mencekik dan menyulitkan rakyat.
Jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam kemelaratan. Kalau kita menggunakan ukuran US$ 2 -PPP (purchasing power parity )/kapita/hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia, pada 2007 angka kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih rendah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%). Jadi (hampir) separoh warga Indonesia hidup dalam keadaan miskin. Lantas, apa arti pembangunan jika kian lama program pembangunan berselang hanya berujung pada kemiskinan yang panjang dan berlipat jumlahnya?
Keadaan ekonomi Indonesia semakin diperparah dengan adanya perjanjian pasar bebas ASEAN dengan Cina; ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) yang diberlakukan sejak 1 Januari 2010. Kesepakatan tersebut semakin memukul pelaku ekonomi sektor riil dan secara tidak langsung kita dijajah dalam bidang ekonomi. Hal ini semakin diperparah oleh rakyat Indonesia yang konsumtif. Lebih jauh lagi, perjanjian ACTFA yang mencakup jasa perbankan serta pendidikan yang akan terintegritas dan sinergis bagi seluruh komponen bangsa guna bangkit dari keterpurukan ekonomi.
6.        Teknologi Informasi dan Komunikasi
Inilah abad yang diramal oleh Alvin Tofler sebagai gelombang ketiga. Bisa dikata, siapa yang menguasai informasi dan komunikasi, dialah yang menguasai zaman ini. Media komunikasi dan informasi mulai dari televisi, internet, handphone, komputer jadi benda yang dibutuhkan dan dihargai keberadaannya di masyarakat. Siapa yang tidak dekat dengan media-media itu, dia tidak ambil bagian dalam percaturan hidup di zaman ini. Namun, teknologi informasi dan komunikasi jadi pisau yang bermata dua, bisa positif bisa juga negatif. Tergantung dari bagaimana kita menggunakannnya. Tajamnya bisa ‘membunuh’ diri kita ataupun mempertajam nurani kemanusiaan kita.
Derasnya teknologi informasi dan komunikasi itu sangat berdampak pada pola dan gaya hidup, fashion,food,fun (3F) menjadikan manusia larut dalam gelombang globalisasi yang secara langsung juga menerima segala konsekwensi yang ditimbulkannya. Akibatnya kesenjangan sosial, sikap individual bahkna amoral merupakan pemandangan yang nampak biasa padahal subtansinya telah mencerabut budaya dan kearifan bangsa Indonesia.
B.   WACANA PROBLEMATIKA INTERNAL
1.     Kaderisasi dan SDM
Mata rantai perjalanan PII setelah 63 tahun menunjukkan pasang surut seiring dinamika kebangsaan yang ada. Pasca Reformasi 1998 muncul harapan besar dengan era formalisasinya PII tampil mengemuka di ranah publik, imbas UU keormasan 1985 yang telah mengkerdilkan hampir semua gerakan yang menolak Pancasila dipaksakan sebagai asas untuk semua dasar kehidupan berbangsa. Generasi pasca Formalisasi dalam hal ini produk sistem kaderisasi Ta’dib (AD Bab VI pasal 9) terpapar sebagai berikut
Profil kader nasional (inti) terpetakan sebagaimana data di atas (diolah dari LPJ periode ke periode). Jelaslah posisinya pasang surut dan muncul dilematika selain faktor kuantitas dalam kapasitas output ta’dib maka kualitas juga menjadi rentetan persoalan akibat lemahnya proses follow up oleh struktur yang kurang gesit, agresif menyelenggarakan arena diskursus dan agenda perubahan sesuai misi gerakan di tengah masyarakat pelajar.
Sistem kaderisasi Ta’dib sebagai media ideologisasi menunjukkan keunikan dan khazanah yang luar biasa.  Medan pertarungan ideologisasi, sistem ini cukup ampuh melakukan filterisasi guna menampung beragam model cara pandang dan paradigma dalam dimensi yang utuh proses menjadi manusia (pembelajaran orang dewasa). Bertemunya mozaik persoalan dan cara pandang (melting pot) telah menempa proses dialektika dalam diri kader PII di tingkat nasional. Persoalan apapun mampu diselesaikan dengan media dialog bukan kekerasan dan intimidasi. Indahnya logika pembelajaran ini dalam menghargai setiap proses hidup kader menempatkan pembelajaran quantum sebagai keniscayaan.
Secara utuh ada rantai persoalan implementasi demi idealnya proses pendidikan kader melalui jenjang training ditopang ta’lim dan kursus. Persoalan utama yang paling mendasar terletak pada kapasitas SDM dan kuantitas SDM. Proses kaderisasi adalah proses kualitas yang menuntut kecerdasan strategi, wawasan dan disiplin kerja dalam rangka memastikan sistem berjalan sebagaimana mestinya. Rantai masalah yang sebab akibat ini akhirnya dalam implementasinya tiap zona (Sumatra-jawa-Indonesia Timur) sampai hari ini tercecer. Dalam hal ini yang diperlukan adalah regulasi yang tidak mengkerdilkan semangat implementasi secara utuh. Perlu penjaminan kualitas /quality assurance oleh dewan ta’dib mulai unsur kepemanduan hingga instruktur tingkat lanjut sebagai proses yang terus menerus dalam rangka perbaikan.
Sistem ta’dib dan realitas struktur sering dikatakan incompatible, prasyarat utama ta’dib ialah adanya struktur yang sehat dan kuat sehingga proses pengelolaan(implementasinya) berjalan optimal. Selain itu dapat dijelaskan dalam Bab V pasal 8 dalam Anggaran Dasar , karakter penggerak dalam tubuh gerakan adalah unsur usaha untuk mencapai tujuan organisasi dengan fungsi catur baktinya sebagai media berlatih, wahana penghantar sukses studi, wadah pembentukan kepribadian muslim dan alat perjuangan bagai pelajar Islam (AD bab IV pasal 7). Fungsi pengkaderan dalam sistem kaderisasi PII memprioritaskan dinamika pembelajaran catur bakti PII melalui sistematika yang berjenjang (struktur). Kader merasakan manfaat berorganisasi maka apapun akan dilakukan kader untuk mewujudkan misi organisasi sebagai proses keberpihakan akan visi gerakan dalam menghadapi tantangan zamannya.  
2.    Kelembagaan dan Menejemen
Infrastruktur yang ada hari ini 30 PW, 222 PD, lebih kurang 1000 PK dengan jumlah personalia PB badan induk dan Badan otonom (50) PW (>450) dan PD (>1000). Dinamika tersebut jelas membutuhkan media pengelolaan yang kompetitif dan progresif sesuai gerak perubahan zaman. Rentang kendali informasi dan kontrol managerial yang memadai jelas dibutuhkan skill organisasi yang multi komplek , tiada strategi tunggal untuk memajukan kualitas organisasi selebihnya bisa dipetakan berdasar pola sosio-historis, sosiologis dan geografis.
Ada tiga isu utama yang harus dipersiapkan dalam wacana intepretasi kekurangan periode sebelumnya dan fondasi ke periode berikutnya ; 
1.           Struktur
          Dalam kerangka berpikir struktural maka diperlukan elemen vital institusi yang komprehensif dan kompeten dalam menjawab kebutuhan zaman. Sub sistem dari struktur yakni : Kebijakan, konsep, program jangka pendek, jangka panjang, sistem eselon
Agenda utama dalam penyehatan struktur tersebut adalah dengan mengembalikan fungsi masing-masing eselon dan peningkatan intensitas pembinaan oleheselon yang lebih tinggi kepada eselon di bawahnya yang kemudian menguatkan semangat keberpihakan sikap PII terhadap masyarakat pelajar. Hal ini dimaksudkan agar ada keseimbangan dan kesatuan gerak PII secara nasional untuk tetap menegakkan peran PII di masyarakat pelajar.
2.         Budaya Gerakan (learning organization)
Budaya merupakan komponen penting dalam membentuk karakter dan proses pentransformasian kepentingan individu satu sama lain dengan agenda organisasi. Sebagai proses transaksi nilai maka ada sesuatu yang dipertukarkan dan sifatnya take and give sesuai dengan kompetensi dan profil ideal kader yang hendak dipertajam aktualisasinya. Kinerja hanyalah impact dari proses bertambahnya rasa memiliki, nyaman, adanya value added setelah berorganisasi di eselon manapun dan mewakili pandangan kritis akan masalah masa depan yang harus diselesaikan. 
Karakter utama daam mengelaborasi budaya organisasi yang relevan bergerak dalam isu mengubah wajah komunitas dari tardisi oral/verbal dalam hal ini bisa ditengarai dalam konteks dialog, seminar, training dan rapat bergerak ke ranah budaya literal , konstruksi berkarya , budaya tulis, ilmiah sesuai dengan nilai keunggulan dan kompetensi kader.
Komponen utama dari turunan budaya gerakan ialah ; komunikasi organisasi , proses transfer knowledge dalam kerangka comunity based knowledge untuk mendorong society based knowledge, model penghargaan/reward and punishment, Etos kerja, budaya ilmiah untuk melakukan gerak rekayasa sosial yang representatif sesuai dengan karakter gerakan. Selain dari budaya organisasi yang mengutamakan persaudaraan (ukhuwah) yang mana tetap menghormati kearifan local (local wisdom) yang ada dengan tetap berpegang teguh pada pedoman universalitas moral dan nilai-nilai agama.
3.         Kepemimpinan
Bagian vital dari berjalannya oragnisasi terletak pada kapasitas SDM yang inhern dalam proses meletakkan agenda implementasi dan rekayasa gerakan. Karakter utama dalam implementasinya PII menginginkan kader yang berkualitas muslim, cendekia, pemimpin yang dalam kapasitas ini poin sentralnya kualitas proses kepemimpinan ; motivator, inisiator, inovator, decision maker, dinamisator dan komunikator (lobier). Karakter ini sangat diperlukan dalam rangka akselerasi gerakan yang lebih progressif. Karekter kepemimpinan di PII akhir-akhir ini malah mengalami pergeseran penurunan yang cukup signifkan. Hampir 10 ketua umum pengurus wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia mengundurkan diri. Indikasi utama kemunduran mereka adalah masalah personal (kedirian). Ini jelas menjadi PR kita bersama sehingga karakter yang kita ingin capai diatas dapat terwujud.  
3.    Sarana dan prasarana
Proses implementasi kebijakan dalam bentuk program merupakan usaha sadar dan bertanggung jawab mendayagunakan segenap sumber daya, kemampuan dan kapasitas organisasi sehingga membawa kemanfaatan secara personal (kader), institusional dan keummatan. Aspek sarana dan prasarana tak bisa dipungkiri bukanlah faktor tunggal dalam menyelesaikan masalah PII. Infrastruktur merupakan turunan dari aspek suprastruktur (kesadaran nilai, misi dan pandangan hidup). Adanya alat komunkasi dan transportasi, finansial memadai, dan media berkumpul dan berdiskusi(sekretariat) merupakan aspek fundamental dalam menopang energi struktur dalam merespon masalah aktual kepelajaran.
Masalah ini tidak hanya dihadapi oleh institusi Pengurus Besar namun hampir semuanya (PW–PD-PK) karena sifat organisasi PII yang berada dalam jalur non profit yang mengutamakan dakwah sosial. Arus kas yang optimal dalam kerangka suplai logitik organisasi tak bisa dipungkiri berasal dari dana charity (kemanusiaan) baik individu maupun institusional dan bantuan dari pemerintah bila ada.
Pemenuhan kebutuhan mendasar organisasi dalam bentuk ketersediaan sarana merupakan pilihan normatif dalam kerangka managerial kelembagaan yang sama-sama mesti diusahakan bukan berpangku tangan terhadap jaringan emosional (perhimpunan KB PII) namun masih banyak akses di luar stakeholder konvensional. Setelah itu terpenuhi maka problem berikutnya alokasi(pemanfaatan), dalam hal ini dibutuhkan kecermatan, profesionalitas dan transparansi dalam kegunaannya. Aspek berikutnya pelaporan sebagai wujud amanah dalam mengemban misi kebudayaan secara material maupun immaterial
4.     Ketersediaan Dana
‘Dana bukanlah hal yang utama, namun tanpa dana banyak menimbulkan masalah’ Ungkapan yang masih relevan untuk menggambarkan pentingnya keberadaan dana dalam oraganisasi PII. Upaya-upaya kreatif pengurus baik menghimpun dana-dana umat (zakat, infaq, shodaqoh, dana mandiri) dan memulai usaha mandiri dengan berbagai upaya harus dilakukan secepat dan sedapat mungkin. Potensi yang dimiliki PII cukup banyak jika di maksimalkan pengelolaannya.

C.  Tujuan Strategis 2018
Tujuan strategis ini merupakan gambaran kondisi ideal yang ingin dicapai oleh PII pada tahun 2018, yaitu sebagai berikut :
“PII menjadi organisasi kader yang memiliki kader berkualitas dengan budaya organisasi yang sehat, dinamis dan mandiri demi terwujudnya pelajar Islam yang kritis dan sadar akan peranannya sebagai subyek perubahan”
D.  Key Success Factor
Untuk mencapai tujuan strategis terdapat faktor yang menjadi kunci kesuksesan (key success factor). Apabila kunci sukses faktor tidak terjadi, maka tujuan strategis tidak akan tercapai. Key Success Factor tersebut adalah :


  1. Komitmen, disiplin, loyalitas, jujur, berani bersikap dan bertindak, produktif, etos kerja dan militansi tinggi, profesional serta konsisten. 
  2. Pembinaan, monitoring dan evaluasi kader dan organisasi yang intensif dan berkelanjutan. 
  3. Tersedianya muaddib yang berkualitas dengan jumlah yang cukup untuk melakukan pengkaderan sampai ketingkat komisariat. 
  4. Banyaknya follow up kegiatan dalam rangka peningkatan kompetensi kader. 
  5. Selektifitas kader diperketat.
  6. Adanya basis kader di lembaga formal dan non formal yang memadai. 
  7. Tersedianya sarana, prasarana dan didukung oleh kondisi keuangan yang memadai.
  8. Peran keummatan dan kepelajaran kader yang konkrit. 
BAB III
FORMULASI STRATEGI 
A.    Strategi Umum
Untuk mencapai tujuan strategis diatas, strategi yang dilakukan adalah melakukan proses kaderisasi yang intensif dan terkontrol didukung oleh budaya organisasi yang sehat dan dinamis serta basis organisasi yang kuat.
B.  Modalitas Utama
Dalam mengimplementasikan strategi program, baik jangka panjang maupun jangka pendek, butuh modalitas utama yang akan menyokong terealiasainya strategi program tersebut. Berikut ini beberapa modalitas utama yang diharapkan ada pada segenap unsur kepengurusan, baik dalam struktur, kultur dan kepemimpinannya.
Kebijakan Strategis Jangka Panjang secara periodik
v  Periode 2010-2012,
Konsolidasi internal (penataan supra dan infrastruktur), pemanatapan basis pembinaan, ekspansi jaringan, pematangan isu strategis dan pengadaan usaha mandiri.
v  Periode 2012-2014,
Pengembangan kapasitas internal, pengembangan basis pembinaan, penguatan jaringan, dan pengguliran opini publik, penguatan jaringan usaha.
v  Periode 2014-2016,
Pemeliharaan dan kontrol efektivitas internal, pengembangan dan pemeliharaan basis pembinanan, kemitraan dengan jaringan yang ada, penggiringan opini publik kemandirian finansial.
v  Periode 2016-2018,
Pemberdayaan internal, pemberdayaan basis pembinaan, keberlanjutan kemitraan, penguatan brand image PII (leader opinion) kemandirian Pemberdayaan finansial.
C.  Sasaran Strategis Jangka Panjang
Dengan strategi umum yang dilakukan untuk mencapai tujuan strategis, maka sasaran strategis jangka panjang yang ingin dicapai adalah :
  • Penyempurnaan sistem kaderisasi yang relevan dengan semangat zaman dan masyarakat pelajar
  • Terpenuhinya sumber daya muaddib baik secara kualitas dan kuantitas dalam tingkatan eselon.
  •  Berjalannya sistem kaderisasi secara utuh dan konstekstual.
  • Penyiapan kader tunas (6-12) sebagai fondasi rekruitmen kader melalui penjaringan dan pembinaan berkelanjutan
  • Terciptanya kader cendekia yang memiliki kesadaran keilmuan dan pengetahuan dalam rangka melakukan transformasi (perubahan) di tengah masyarakat.
  • Adanya basis kader yang dekat dengan subjek garap baik secara isu kepelajaran (pengetahuan) maupun secara emosional kepribadian(sikap) dan peran kepelajaran yang berkualitas (skill).
  • Peningkatan kuantitas secara masif di level grass root sejalan dengan penajaman pola gerak organisasi berbasis aktivitas (minat, bakat, karya)
  • Penyederhanaan bentuk dan pola kerja struktur untuk efektifitas komunikasi dan kinerja organisasi.
  • Memiliki database internal dan eksternal yang akurat dan dikelola secara profesional. yang mampu menunjang strategi kelembagaan.
  • Organisasi memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana dalam menunjang kinerja organiasi
  • Terciptanya budaya organisasi yang sehat, produktif, etos kerja tinggi, dinamis, problem solving, mandiri, efektif, efisien, modern dan profesional diseluruh institusi pimpinan.
  •  Kemandirian keuangan yang mampu mendukung produktifitas lembaga dan langkah gerak organiasi
  • Memiliki jaringan dan mitra kerja yang potensial menunjang visi dan misi lembaga (material dan immaterial) yang luas dalam dan luar negeri.
  • Ramainya kegiatan yang menarik dan diminati oleh kader maupun pelajar serta menjadi “rumah kedua” bagi pelajar.
  •  Memperkuat infrastruktur eselon Badan otonom brigade dan PII wati par excellent.
  • Respon aktif terhadap isu kepelajaran dan keumatan oleh Badan Induk(pendidikan dan budaya), PII Wati (anak, pelajar putri, keperempuanan), Brigade (lingkungan dan ketahanan organisasi)
D.  Sasaran Strategis Jangka Pendek
Prioritas sasaran dari rancangan GBHO 2008-2016 terpapar dalam kerangka jangka pendek 2010-2012 meliputi aspek berikut ini :
Ø Kaderisasi dan SDM
Ø Pembasisan Organisasi
Ø Sistem informasi strategis
Ø Jaringan (Networking) dan Pencitraan (Image bulding)
Ø Kemandirian Financial
Ø Sinergisitas gerakan badan induk dan Badan Otonom

Ø Kaderisasi dan SDM
  1. Melakukan reorientasi visi dan misi kader cendekia yang mampu melakukan peran-peran transformatif di tengah masyarakat.
  2. Meningkatkan kemampuan keilmuan dan wawasan interdisipliner kader dalam membaca realitas perubahan bangsa dan masyarakat pada umumnya.
  3. Meningkatkan kemampuan integralisme Islam menuju pemahaman Islam Rahmatan Lil alamin 
  4. Melakukan proses akselerasi Sumber daya Muaddib dalam melakukan penyelenggaraan proses implementasi ta’dib sesuai tantangan kewilayahan.
  5. Meningkatkan basis kader secara masif(kuantitas) sebagai bentuk pola kaderisasi (recruitment).
  6.  Menyempurnakan sistem kaderisasi PII meliputi revisi panduan training,kursus dan ta’lim
Ø Pembasisan organisasi
  1. Pembinaan keorganisasian intensif
  2. Terciptanya budaya organisasi yang sehat dan dinamis 
  3. Pembasisan dengan fokus garap siswa SMP
  4. Menciptakan media apresiasi pelajar untuk menyalurkan minat, bakat dan kebutuhan pelajar
  5. Melakukan monitoring dan evaluasi sebagai alat untuk mengukur & meningkatkan kinerja organisasi
  6. Terbangun kekuatan jama’ah sesama kader & pengurus
  7. Skill keorganisasian PB-PW-BAKORDA dan PK meningkat
  8. Pilot project pembasisan (sagiat) 
  9. Menjadi organisasi yang memperjuangkan hak-hak pelajar
Ø Jaringan (Networking) dan Pencitraan (Image bulding)

  1. Pengembangan mitra strategis berdasar keberpihakan isu dan pola gerakan.
  2. Mengembangkan peran-peran keumatan melalui jejaring mitra kerja yang produktif.
  3. Membangun konsep jaringan teritorial baru di geopolitik Asia Pasifik.
  4. Menumbuhkan jaringan kemitraan yang menopang kualitas akademik kader.
  5. Sistem inforAliansi strategis dengan organisasi lain untuk memperjuangkan isu pendidikan dan kepelajaran
  6. Relationship dan partnership program dengan stake holder dalam negeri meningkat
  7. Menjadi ”corong” kepada media massa untuk sosialisasi program
Ø Sistem informasi strategis
  1. Pengembangan database lembaga (internal) dalam menopang strategi ekspansi jaringan.
  2. Melakukan penajaman isu strategis melalui riset dan kajian.
  3. Memanfaatkan temuan-temuan startegis(riset) untuk menguatkan peran pressure grup dan opinion leader dalam pendidikan dan kepelajaran.
  4. Melakukan konsolidasi isu dalam segregasi teritorial dan kebijakan programatik.
Ø Kemandirian Financial
  1. Membangun kemitraan finansial yang mendukung misi dan eksistensi lembaga.
  2. Meningkatnya kemampuan fundraising & melatih jiwa entrepreneurship
Ø Sinergisitas gerakan badan induk dan Badan Otonom
  1. Rekondisi infrasturktur BO brigade dan BO PII wati dalam kerangka pembagaian peran strategis baik secara isu maupun pola kaderisasi.
  2. Melakukan penajaman isu yang selaras dengan pengembangan kecendekiaan kader serta pola gerakan sebagai pressure grup.
  3. Membangun ketahanan organisasi dengan mengembangkan kemampuan fisik dan intelegensia sehingga terbentuk sumber daya manusia yang militan, profesional dalam struktur komando BO brigade dalam rangka mendukung misi eksistensi PII pada umumnya.
  4. Merespon isu kerusakan lingkungan sebagai pendekatan startegi revolusi kebudayaan ole Brigade.
  5. Melakukan pembinaan kader Tunas usia 6-12 tahun.
  6. Pembasisan dan pengembangan kader PII wati dengan mengaktifkan sagiat kelompok putri.
  7. Merespon isu strategis berkaitan dengan masalah anak, pelajar putri, keperempuanan
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI STRATEGI
A.    Monitoring
      Tujuan dari monitoring adalah memastikan implementasi strategi berjalan sesuai dengan formulasi strategi. Monitoring GBHO ini dilakukan oleh seluruh institusi pimpinan dari tingkat pusat sampai komisariat. Dalam proses monitoring dibutuhkan perangkat – perangkat monitoring yang valid dan terukur. Perangkat monitoring akan dibuat kemudian oleh Pengurus Besar dengan memperhatikan masukan-masukan dari institusi pimpinan dibawahnya.
Untuk mendapatkan data implementasi strategi, diperlukan suatu metode pengumpulan data. Terdiri dari observasi langsung dan pelaporan. Observasi langsung dilakukan untuk melihat realitas dilapangan secara objektif. Pelaporan dilakukan oleh institusi pimpinan dibawah kepada institusi diatasnya. Didalam ART laporan dilakukan 4 bulan sekali. 

B.   Evaluasi 
Tujuan dari evaluasi ini adalah melakukan koreksi terhadap implementasi strategi dan kemudian dilakukan perbaikan. Evaluasi strategi secara formal dilakukan dalam forum-forum sidang pleno. Evaluasi non formal dilakukan secara continue dan dilakukan setiap saat tidak mengenal batasan waktu.


Pimpinan Sidang
Muktamar Nasional Ke-27
Pelajar Islam Indonesia (PII)

            Dto                                                                                                     Dto


Muhammad Husni Fansury                                                        Nst Rasyida Hasanah
Ketua Sidang                                                                                    Sekretaris Sidang