Sabtu, 24 November 2012

RATIFIKASI (legal proces)

BAB I
PENDAHULUAN

Perjanjian internasional memainkan peranan penting dalam mengatur hidup dan hubungan antar Negara dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak diatur dalam perjanjian internasional (Baca pula Boer Mauna ,2000:82). Hal tersebut didorong oleh perkembangan pergaulan internasional , baik yang bersifat bilateral maupun global. Perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh karena semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang berdampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia .

Perbuatan perjanjian internasional (treaty) yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik secara khusus maupun umum (universal) merupakan salah satu sarana yang efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan yang timbul sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan kedamaian untuk manusia (www. dfa- department luar negeri go.id) . Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian – perjanjian internasional hanya diatur dalam hukum kebiasaan . Selanjutnya diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treattes yang ditandatangani 23 Mei 1969 , dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif (Boer Mauna,2000:83).

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan perjanjian internasional ialah yang biasa disebut dengan traktat(treaty) yaitu suatu sebutan atau istilah untuk perjanjian internasional pada umumnya. treaty merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis dan seterusnya ,sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional . Pengertian lainnya terdapat Undang – Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No . 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional . Dengan demikian , perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan – ketentuan yang mempunyai akibat hukum Dalam hukum internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban – kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara –negara untuk melaksanakan dengan itikat baik kewajiban – kewajibannya(Lihat F. Isjwara , 1972:201). Perjanjian internasioanal dimuka dapat terlihat bahwa perjanjian internasional (traktat) selalu bertujuan meletakkan kewajiban – kewajiban yang mengikat terhadap negara- negara peserta . Pada umumnya perjanjian internasional akan segera mengikat bagi negara – negara pesertanya apabila telah melalui proses ratifikasi.


Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional . Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional , tetepi juga merupakan persoalan hukum nasional ( Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjanjian Internasional


Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :


Konvensi / Covenant

Istilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri).


Protokol

Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan – pembatasan oleh negara penandatangan. Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi.
Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen).


Persetujuan (agreement)

Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa.
Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.

a. Arrangement
Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer.

b. Statuta
Bisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga Internasional. Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional.
Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan.


c. Deklarasi
Istilah ini dapat berarti :
  • · Perjanjian yang sebenarnya
  • · Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian
  • · Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting
  • · Resolusi oleh Konferensi Diplomatik

d. Mutual Legal Assistance
Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.


B. Ratifikasi dan Hukum Internasional


Dalam hukum internasional, kita mengenal perjanjian internasional. Yang dimana dalam melakukan perjanjian internsional ada 3 proses untuk melakukan sebuah perjanjian. Yaitu;

a. Perundingan (negisiation)
b. Tanda tangan (signature)
c. Pengesahan/ratifikasi (ratification)

Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai segi, baik politik, ekonomi maupun keamanan.

Tahap perundingan akan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan menurut cara yang disetujui semua pihak. Bila konferensi tidak menentukan cara pengesahan, maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatanganan sementara, atau dengan pembubuhan paraf (Kusumaatmadja, 1990 : 91).

Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.

Sedangkan ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara yang bersangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi (di sahkan).

Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan.

Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara.

Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.

Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional.

Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:

1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.



C. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional


Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.

Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)

Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil. 

Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara.

Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum internasional. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.

Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain.

Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.

Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.



D. Proses Ratifikasi Di Indonesia


Adapun proses ratifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut :


Ratifikasi / Pengesahan dengan Keppres


Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut . Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada secretariat Negara , disertai copynaskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy, plus 1 (satu) yang tekah di –Certified True Copy . Setelah dipelajari sekneg , selanjutnya diteruskan kepada presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada Kepala Biro Hukum , kemudian ke Deputi Eselon 1 , diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres ). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden ) untuk ditandatangani oleh presiden . Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada ketua DPR , yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh DPR .Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg , untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B . Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara , dan Daftar B adalah departemen – departemen / instansi terkait. Pendistribusian ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum . Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan keputusan presiden , sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 antara lain adalah sebagai berikut (Sumber Biro Hukum Setneg RI).

  • Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2001 tentang Pengesahan Convension on Nuclear Nafaty ( Konvensi tentang Keselamatan Nuklir ). Tanggal 4-10-2001 Lembaran Negara No.139.
  • Keputusan presiden Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengesahan Instrumen Amending the Constution and the Convention of the Internasional Telecommunt – cottion union Minneapolis ,1998( Instrumen Perubahan Koinstitusi dan Konvensi Perhimpunan Telekomunikasi Internasional Minneapolis 1998) Tanggal 30-4-2002. Lembaran Negara No. 44.
  • Keputsan Presiden Nomer 26 Tahun 2002 tentang Pengesahan amandemen of the agreement relating to the internasional Telecommunication Satellite Organization “INTELSAT” ( Perubahan terhadap Perjanjian Berkaitan dengan Organisasi satelit Telekomunikasi Internasional “INTELSAT”)Tanggal 30-4-2002, Lembaran Negara No. 45.
  • Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2002 tentang pengesahan internasional Coffe Agreement 2001 ( Pengesahan Kopi Internasional 2001). Tanggal 20-5-2002, Lembaran Negara No. 60.
  • Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang pengesahan ILO Convention No.88 Concerning the Organization of the Imployment Service ( Konvensi ILO No.88 mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja ). Tanggal 20-5-2002, Lembaran Negara No. 63.


Ratifikasi / Pengesahan dengan Undang – undang


Proses ratifikasi dengan Undang –undang dapat dijelaskan sebagai berikut : Departemen luar negeri mengajukan permohonan ijin pemrakarsa penyusunan RUU (hanya sebagai formalitas , karena biasanya pada rapat- rapat interdep terdahulu , instansi teknis beserta departemen luar negeri telah menyusun terlebih dahulu RUU – nya).Dilampirkan pula copy naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh ) copy , plus 1 (satu) yang telah di Certified True Copy . Setelah dipelajari oleh Sekneg kemudian diteruskan kepada presiden melalui hierarki yang sama dengan pembuatan keppres . Setelah presiden menyetujui permohonan tersebut kemudian Sekneg Cq. Bagian Ratifikasi memberitahukan kepada departemen luar negeri .Selanjutnya departemen luar negeri beserta instansi teknis terkait dan juga setneg, kembali mengadakan rapat interdep untuk membahas RUU pengesahan yang biasanya telah dipersiapkan sebelum pengajuan permohonan dan tentang pelaksanaan perjanjian tersebut . Tata cara penyiapan RUU ini diatur dalam Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang , yang pada pasal 1 ayat (1)nya menyebutkan bahwa menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen dapat mengambil prakarsa dalam penyusunan RUU untuk menyangkut masalah yang menyangkut bidang tugasnya. Selain itu , teknik penyusunan diatur dalam Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang- undangan dan Bentuk Rancangan Undang- Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keppres.

Setelah rapat interdep itu selesai , selanjutnya departemen luar negeri mengirimkan RUU yang disetujui dalam rapat tersebut ke Sekneg beserta naskah akademisnya. Sekneg kemudian akan meneruskan ke Presiden untuk kemudian Presiden mengeluarkan ampres yang telah ditandatanganinya (Ditujukan kepada ketua DPR , yang isinya meminta agar DPR membahas RUU tersebut ), selanjutnya , mengirimkannya ke DPR (Pasal 18 Keppres No. 188 Tahun 1998). Setelah DPR menerima ampres tersebut , kemudian DPR mengadakan rapat pembahasan RUU.

Menurut penjelasan pihak Biro Hukum DPR-RI No. 16/DPRRI/1/1999-2000 yang ditetapkan pada tanggal 23 September 1999 , pembahasan rancangan undang- undang 

Dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan (Pasal 116 ayat (1)),tetapi pada prakteknya dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah melalui prosedur singkat shortcut , yaitu tanpa melalui pembahasan Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Jadi prosedur pembahasn yang dilalui dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah sebagai berikut :

1) Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Paripurna .Dalam pembicaraan di tingkat ini pemerintah memberikan keterangan atau penjelasan mengenai pokok –pokok materi Rancangan Undang –undang tersebut.

2) Pembicaran Tingkat III dalam Rapat Komisi (Komisil) Berupa Raker dengan menteri-menteri dari departemen teknis pemrakarsa penyusunan RUU Pengesahan , termasuk kedalam jadwal acaranya adalah pengantar musyawarah fraksi-fraksi , tanggapan pemerintah atas pengantar , pembahasan materi, pengambilan keputusan sampai dengan penandatanganan Draft RUU.

3) Pembicaraan Tingkat IV dalam Rapat Paripurna . Pengambilan keputusan atas RUU pengesahan perjanjian internasional yang didahului oleh laporan hasil pembicaraan Tingkat III dan pendapat akhir dari fraksi-fraksi serta pemberian kesempatan kepada pemerintah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut.

Pada tanggal 16 Oktober 2001 ditetapkan Peraturan Tata Tertib DPRRI yang baru No 03/A/DPRRI/I/2001-20002 menggantikan Tatib DPRRI No. 16/DPRRI/I/1999-2000. Ketentuan tahap pembahasan RUU menurut Tatib DPRRI No. 3A/DPRRI/I/2001-2002 ini diatur dalam Pasal 120 yang membagi tahapan pembahasan RUU menjadi 2( dua ) tingkat pembicaraan , yaitu :

1) Tingkat I dalam Komisi , Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran , atau Rapat Panitia Khusus , bersama-sama pemerintah.

2) Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Pembahasan RUU pengesahan melalui kedua tahap pembicaraan tersebut , yang pembahasan materi RUU dan pengambilan keputusan serta penandatanganan naskah RUU dilakukan pada Tingkat I dalam Rapat Komisi , sedangkan pada pembahasan Tingkat II dilakukan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului oleh laporan hasil akhir pembicaraan Tingkat I , pendapat akhir fraksi-fraksi dan sambutan pemerintah. Dalam pembicaraan Tingkat I dapat diadakan Rapat Dengar Penda[at atau Rapat Dengar Pendapat Uum , diundang pula pimpinan lembaga /departemen yang terkait dengan materi Rancangan Undang- undang.

Setelah DPR menyetujui RUU tersebut , maka bentuk persetujan DPR adalah berupa surat dari ketua DPR kepada Presiden dan Keputusan DPR atas RUU tersebut , yang dikirimkan ke Sekneg untuk diteruskan kepada Presiden . RUU yang telah disetujui oleh DPR itu ditandatangani dan disahkan oleh presiden sehingga menjadi Undang- undang (Pasal 26 ayat (!) Keppres No. 188 Tahun 1998).Tindakan selanjutnya dilakukan oleh Sekneg yang menuangkannya ke dalam Lembar Negara dan mendistribusikannya kepada Daftar A dan Daftar B.

Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan Undang-undang , sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 2001 sampai tanggal 17 April 2002 adalah sebagai berikut:
  • Undang – undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggaran Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of Republic of Indonesia and The Government of Hongkong for The Surrender of Fugitive Offender).Tanggal 8 Mei 2001 , Lembaran Negara No. 43, TLN 4091.
  • Undang –undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing The Activities of States in The Exploration and Use of Outer Space, Including The Moon and Other Celestical Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Pprinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara- Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa , Termasuk Bulan dan Benda – Benda langit lainnya , 1967). Tanggal 8 April 2002 , Lembaran Negara No. 34,TLN 4195.
Setelah UU/ Keppres pengesahan tersebut didistribusikan kepada lembaga tertinggi dan tinggi negara , dan departemen –departemen terkait termasuk departemen luar negeri , selanjutnya departemen luar negeri Cq direktorat perjanjian internasional melakukakan pemberitahuan kepada mitra bahwa Indonesi telah meratifikasi, hal ini disebut dengan pertukaran Nota Diplomatik . Apabila perjanjian internasional yang dilakukan merupakan suatu konvensi yang diprakarsai oleh organisasi internasional , maka departemen luar negeri akan mengirimkan Piagam Ratifikasi yang telah ditandatangani oleh Menlu kepada Sekretariat organisasi internasional tersebut, dan kemudian secretariat organisasi internasional itu akan memberitahukan negara- Negara lain bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut.

Cara pemberlakuan suatu perjanjian internasional yang ditentukan oleh perjanjian itu sendiri yang dapat berupa antara lain sebagai berikut (Departemen Luar Negeri , 2002:11).

a. Untuk konvensi agreement yang bersifat multilateral , mulai berlaku sejak Piagam Pengesahan didepositkan melalui perwakilan setempat pada negara pendeposit atau sekjen organisasi internasional /PBB.
b. Untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral , berlaku sejak pertukaran Piagam Pengesahan yang biasanya dilakukan oleh Duta Besar dengan Menlu setempat.
c. Pemberlakuan suatu perjanjian dapat juga dilakukan sejak pertukaran nota (Exchange of Notes) . Biasanya pada perjanjian bilateral, berlaku terhitung sejak 30 hari setelah pemberitahuan terakhir .
d. Untuk konvensi , dapat pula berlaku setelah memenuhi jumlah ratifikasi yang ditentukan dalam perjanjian.

Sesuai dengan kebiasaan internasional , seluruh naskah asli perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan negara lain seyogyanya disimpan pada Departemen Luar Negeri Cq Direktorat Perjanjian Internasional . Departemen Teknis cukup memegang copy dari perjanjian asli yang disahkan oleh Departemen Luar Negeri Cq Direktorat Perjanjian Internasional. 

Selanjutnya seiring restrukturisasi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia maka direktorat yang mengurusi ratifikasi perjanjian internasional ada dua yaitu, kesatu Direktorat Perjanjian Politik ,Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri RI,kedua,Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI. Kedua direktorat tersebut berada dibawah Direktorat Jenderal Informasi , Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional. Dengan demikian Direktorat Perjanjian Internasional yang biasa menangani ratifikasi perjanjian internasional sekarang sudah tidak ada , dan diganti dua direktorat tersebut.

Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan , Departemen Luar Negeri RI menangani ratifikasi perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2000, yang harus diratifikasi dengan Undang – undang . Selanjutnya Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI menangani ratifikasi di luar Pasal 10 tersebut , yaitu yang diratifikasi dengan keputusan Presiden.


BAB III 
PENUTUP

Kesimpulan


Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung.
  2. Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty.
  3. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nuansa, 2006), hal. 512-513.
  4. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Buku 2 (terj), (Jakarta: Sinar Grafika, 1992)
  5. Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin.
  6. Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung.
  7. Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung.
  8. Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung
  9. Suryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung: Alumni.
  10. Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Citra Aditya.

1 komentar: