Sabtu, 09 Februari 2013

PRAKTIK PEREKONOMIAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Mukaddimah

Islam adalah agama yang universal. Ajaran-ajaran Islam mengatur dan membimbing semua aspek kehidupan manusia, baik yang berdimensi vertikal (habl min al-Allah) maupun yang berdimensi horizontal (habl min al-nas). Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya berisi aqidah, shari‘ah, sejarah dan etika (moral), mengatur tingkah laku dan tata cara kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Universalitas ini tampak jelas terutama dalam aspek muamalah yang sangat luas medan geraknya, bersifat relatif dan fleksibel sesuai dengan situasi, kondisi dan domisili. Ini berbeda secara diametral dengan aspek ibadah (formal) yang bersifat absolut-permanen-konstan dan tak berubah-ubah sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.


Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individu, telah disediakan Allah Swt, beragam benda yang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut, tidak mungkin dapat diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, ia harus bekerja sama dengan orang lain. Hal itu bisa dilakukan, tentunya harus didukung oleh suasana yang tentram. Ketentraman akan dapat dicapai apabila keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk mencapai keseimbangan hidup di dalam masyarakat diperlukan aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.

Langkah perubahan perekonomian umat Islam, khususnya harus dimulai dengan pemahaman bahwa kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan yang berdimensi ibadah. Hal ini tercantum dalam QS. Al–A’raf: 10, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. Selain itu disebutkan juga dalam (QS. Al-Mulk: 15, QS. An- Naba’: 11 dan QS. Jumu’ah :10).

Dalam tataran praktik, terutama dewasa ini ditengah arus globalisasi ekonomi, beberapa ide dan wacana memunculkan ekonomi islam sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan perekonomian global yang muncul. Namun demikian, secara implementatif, beberapa praktik perekonomian yang dilabeli dengan ekonomi islam masih mecari bentuknya, agar benar siap untuk menyesuaikan dengan keniscayaan globalisasi di bidang ekonomi.

Perlu pemahaman ulang Secara teoritis dan konseptual Bagaimanakah praktik perekonomian seharusnya dalam perspektif syaria’h?

B. Rumusan dan Batasan Masalah


1. Secara filosofis apa yang menjadi tujuan ekonomi islam?
2. Bagaimanakah prinsip ekonomi islam?
3. Bagaimana seharusnya pratik perekonomian menurut perspektif islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Pengertian Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relative sama. Menurut S.M. Hasanuzzaman “ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”

Sedang Menurut M.A. Mannan, “ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.”

Berikut ini definisi Ekonomi dalam Islam menurut Para Ahli lainnya :
  1. 1. ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.” (Khursid Ahmad)
  2. ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.” (M.N. Siddiqi)
  3. “ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.” (M. Akram Khan)
  4. “ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.” (Louis Cantor)
Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa, Ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).

B. Filosofi Ekonomi Islam

Ketentuan Tuhan yang harus ditaati bukan hanya yang bersifat mekanis, juga dalam hal etika dan moral. Artinya, selain untuk memenuhi kepuasan manusia yang tak terbatas, kegiatan ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraaan umat Islam. keadilan dan keseimbangan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi, sepanjang tidak ada larangan Tuhan yang menetapkannya. Pertanggungjawaban maksudnya adalah bahwa manusia sebagai pemegang amanat Tuhan mempunyai tanggungjawab atas segala pilihan dan keputusannya.


Sistem Ekonomi Islam berbeda dengan sistem Ekonomi lainnya [1], yaitu :

1. Asumsi dasar/norma pokok dalam proses maupun Interaksi kegiatan Ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem Ekonomi Islam yang menjadi asumsi dasarnya adalah Syari’at Islam, yang diberlakukan secara menyeluruh baik terhadap Individu, keluarga, kelompok masyarakat, penguasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Prinsip Ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan serta menjaga kelestarian lingkungan.

3. Motif ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan dunia dan akhirat

Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh muamalat). Ilmu ekonomi Islam juga memiliki dua objek kegiatan yaitu objek formal dan objek material. Objek formal dalam ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba, rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam.

Fiqh muamalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha / penalaran yang bersifat kualitatif. Dari segi tujuan, ilmu ekonomi bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan fiqh muamalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, dengan kata lain ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh muamalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif /menentukan status hukum, boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis.


C. Prinsip Ekonomi Islam

Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut[2]:

1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.

2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.

3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

D. Tujuan Ekonomi Islam

Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin.

Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah altayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.

Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta system negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.

E. Ekonomi Islam dalam Praktik Perekonomian

Sebagaimana kita tahu, ekonomi konvensional yang merupakan pola berekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh dua kelompok besar yang saling bertolak belakang dan tarik ulur dalam melihat dan memfungsikan indikator dan variable ekonomi, yaitu kapitalis dan sosialis. Namun beberapa tahun terakhir, sistem ekonomi Islam mulai dikenal dan dikembangkan. Minat dan kecenderungan masyarakat terhadap wacana ekonomi Islam cukup beragam, bahkan dapat dikatakan jika animo masyarakat terhadap jasa ekonomi Islam semakin hari semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya lembaga keuangan -bank maupun nonbank- berbasis syariah (wujud konkrit berikut ikon utama ekonomi Islam) dan antusiasme masyarakat dalam menggunakan jasa dari lembaga-lembaga tersebut.

Di samping kelompok yang menyambut baik dan mendukung ekonomi Islam, tak dapat dipungkiri bahwa, akan selalu ada mereka yang cenderung pesimis dan mempertanyakan kembali esensi dan prospek penerapan ekonomi Islam dalam lini kehidupan masyarakat dewasa ini.

Saat ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa minat masyarakat untuk berekonomi syariah walau menunjukkan progres positif, namun belum sesuai dengan harapan, bahkan dari kalangan akademisi, masih banyak yang mengindikasikan keraguan mereka akan relevansi dan akurasi ekonomi Islam untuk diterapkan.

Ada mendasar yang menjadi alasan penolakan/ pesimisme sebagian kalangan atas berlakunya sistem ekonomi Islam, antara lain:[3]
  1. Anggapan bahwa ekonomi Islam muncul karena emosi agama semata.
  2. Ketidaktahuan akan landasan dan filosofi penerapan ekonomi Islam pada tataran riil.
  3. Ketidaktahuan akan perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional yang merupakan keistimewaan ekonomi Islam.
  4. Ketidaktahuan akan perhitungan matematis yang digunakan dalam penerapan ekonomi Islam.
  5. Ketidaktahuan akan strategi pengembangan ekonomi Islam.

Lima hal di atas, tanpa menafikan faktor lainnya, menghasilkan beberapa pertanyaan, baik yang merupakan wujud keingintahuan maupun bentuk pesimisme akan diterapkannnya prinsip ekonomi Islam dalam kehidupan berekonomi masyarakat. Sehingga, ketika seorang individu maupun kalangan ingin menjawab pertanyaan yang muncul, maka ia sangat perlu melakukan pengkajian ulang mengenai apa yang ia paparkan –dalam hal ini ekonomi Islam-, dimulai dengan menelusuri sejarah muncul dan perkembangannya, mengupas sistem yang diberlakukan –baik secara teoretis maupun aplikatif-, untuk kemudian menelaah kembali relevansi dari penerapannya dan respon masyarakat terhadapnya, sehingga fungsi dan dampak dari sistem tersebut dapat dinikmati secara nyata, tak sekedar teori yang hanya berlaku sebatas kajian tanpa ada sumbangsih praktis, baik bagi individu maupun masyarakat secara umum.


F. Praktik Perekonomian Dalam Perspektif Islam

Seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, pola hidup manusia sedikit banyak mengalami perubahan, yang berpengaruh pada aturan yang dijadikan standar norma dan etika bersosial masyarakat. Hal ini berlaku karena secara teori, segala bentuk perilaku dalam Islam berikut perubahannya harus memiliki status hukum yang jelas, karena dalam Islam, segala sesuatu tak lepas dari pengawasan syari’at (dalam hal ini pembuat syari’at; Allah SWT.).

Oleh karena itu, Islam memberikan landasan pokok untuk dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai masa dan kondisi yang dijalani oleh manusia, yaitu ijtihad berkenaan dengan pemahaman atas al-Qur’an dan hadits. Adapun pemahaman dan penerapannya, harus selalu disesuaikan dengan indikasi yang berlaku, sehingga relevansi pokok agama tetap berlaku.[4]

Pada prinsipnya, hukum awal segala sesuatu –termasuk dalam bidang mu’amalat/ transaksi- adalah mubah, yang dapat dipahami sebagai penundaan status hukum terhadap fenomena yang baru dan akan muncul sehingga dilakukan kajian intensif dan mendalam untuk dapat diputuskan hukumnya, baik wajib mandub- makuh-haram, maupun kembali pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh dan netral, tidak condong pada salah satu hukum yang empat). Mubah sebagai konsep adalah hukum yang paling membutuhkan kejelasan yang sejalan dengan penegasan mengenai keharusan untuk melakukan adaptasi dan juga untuk merespon perubahan kehidupan sehingga selalu ditemukan relevansinya.[5]

Secara konseptual, sebagai sebuah sistem, ekonomi Islam merupakan bagian dari tata kehidupan yang lengkap berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan yaitu; yang diwahyukan (al-Qur’an), tauladan Nabi (sunah), deduksi analogik (qiyas), dan penafsiran masyarakat berdasrakan kesepakatan para ulama (Ijma’). Sehingga, dalam penerapannya, ekonomi Islam tidak bisa terlepas dari keempat hal diatas.

Dalam aplikasinya, praktik ekonomi Islam terimplementasi dalam lembaga keuangan dan perbankan berbasis syari’ah yang tidak menjadikan bunga sebagai salah satu aset transaksi, lembaga pengelolaan zakat, dan praktik bisnis Islami. Pun diadakannya kajian ekonomi Islam, baik formal maupun nonformal untuk menghindari simbolisasi syariah semata karena pelaku di dalamnya tidak memahami landasan, filosofi dan aturan yang berlaku.

Pengembangan ekonomi Islam di bidang akademik dapat kita lihat dengan dibukanya program studi khusus di beberapa perguruan tinggi berkenaan dengan ekonomi Islam. Upaya ini tentunya bertujuan untuk menghasilkan tenaga ahli yang diharapkan mampu mengembangkan sistem ekonomi Islam di masa mendatang baik secara konseptual maupun penerapannya di dunia kerja.[6]

G. Praktik Ekonomi Islam di Indonesia

Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim.

Selain Bank Syari’ah dan Penggadaian Syariah, Praktik ekonomi Islam di Indonesia selanjutnya dapat dijumpai pada lembaga perekonomian Islam lainnya dan lembaga bisnis syariah seperti lembaga pembiayaan syariah dan lembaga keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga wakaf.

Pertumbuhan lembaga perekonomian Islam di Indonesia tersebut, juga dibarengi dengan dikeluarkannya regulasi atau hukum yang mengatur operasionalnya. Berturut turut sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai lembaga perekonomian Islam pertama, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti, UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU No. 10 tahun 1998. Dalam UU tersebut diatur dengan rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh perbankan syari’ah. Selain itu juga memberikan arahan bagi perbankan konvensional untuk membuka cabang syari’ah (dual banking system) atau bahkan melakukan konversi.[7]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masalah ekonomi senantiasa menarik perhatian berbagai macam lapisan masyarakat dan individu. Berbagai penelitian telah dibuat untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi tersebut. Walaupun begitu, usaha mencari penyelesaian yang tepat dan akurat dalam mengatasi masalah ini secara keseluruhan menemui kegagalan yang berujung pada krisis ekonomi.

Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasulullah Muhammad SAW dan pada masa khulafa’ rasyidun karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Chapra, M. Umer (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press
  2. M. B. Hendrie Anto. (2003). Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA
  3. Tadjoeddin, Achmad Ramzy, et al. 1992 Berbagai aspek ekonomi Islam. Yogyakarta : Tiara wacana dan P3 EI UII
  4. Tim Penulis MSI UII (2008), Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: MSI UII-Safiria Insania Press)
Sumber Jurnal,
Moch. Khoirul Anwar, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Tanpa Tahun. Tanpa Penerbit.

Sumber Internet,
1. http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=76 di akses pada tanggal 2 Februari 2013 pukul 02.15 WIB
2. http://putracenter.net/2009/01/22/definisi-ekonomi-dalam-islam-menurut-para-ahli/ di akses pada tanggal 1 Februari 2013 pukul 23.03 WIB


[1] Tadjoeddin, Achmad Ramzy, et al. Berbagai aspek ekonomi Islam. (Yogyakarta : Tiara
wacana dan P3 EI UII, 1992)
[2] M. B. Hendrie Anto. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta:EKONISIA. Hal 10-11
[3] Tim Penulis MSI UII (2008), Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: MSI UII-Safiria Insania Press), hal. xii.
[4] Upaya memahami dan menerapkan yang dimaksud adalah proses ijtihad, tentunya yang bersifat obyektif
[5] Tim Penulis MSI UII (2008), Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah, (Yogyakarta: MSI UII-Safiria Insania Press), hal. 156-157.
[6] Ibid. Hal. 122
[7] http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=76 di akses pada tanggal 2 Februari 2013 pukul 02.15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar