BAB I
PENDAHULUAN
Metode
adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk
mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain,
metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya
dipakai oleh mufassir (penafsir) ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Lahirnya
metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu
dinamik. Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang
lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas al-Quran itulah yang
mengakibatkan, tidak boleh tidak, para mufassir harus menjelaskan pengertian
ayat-ayat al-Quran yang berbeda-beda.
Apabila
diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran al-Quran akan menentukan hasil
penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman yang tepat,
begitu juga sebaliknya.
Dengan
demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang teramat penting di dalam
tatanan ilmu tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa menempuh
jalan yang menuju ke sana.
Al-Quran
secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu
berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran
selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan
(ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk
dibedah.[1]
Saat
ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas al-Quran. Setiap kali kita
mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal ayat-ayat yang
disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran al-Quran dalam ibadah
ritual maupun muamalah. Berbagai istilah, seperti: sabar, tawakkal, amal, ilmu,
salam, bismillâhirrahmânirrahîm, juga diucapkan sebagai bahasa nasional dan
bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat jauh berbeda dari
masa lalu. Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat akrab dengan bahasa
al-Quran, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak menguasai bahasa Arab.[2]
Selama
empat belas abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan
berbagai macam perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Walaupun
demikian terdapat kecenderungan yang umum untuk memahami al-Quran secara ayat
per-ayat bahkan kata perkata. Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama
didasarkan pada pendekatan filologis gramatikal. Pendekatan ayat per-ayat atau
kata per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang
pesan al-Quran. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam ini secara tidak
semena-mena menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek kesejarahannya untuk
membela sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam
penafsiran teologis, filosofis, dan sufistis, gagasan-gagasan asing sering
dipaksakan ke dalam al-Quran tanpa memerhatikan konteks kesejarahan dan
kesusasteraan kitab suci itu.[3]
Itulah
sebabnya upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat, membutuhkan ilmu
alat. Dengan ilmu alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan makna-makna al-Quran
dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Quran yang berkategori
mutasyâbih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan demikian, penulis sangat
tertarik untuk membahas tentang metode tafsir al-Quran dengan berbagai
pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan perkembangan metode tafsir,
serta macam-macam metode tafsir yang insya Allah akan dibahas lebih luas dalam
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode Tafsir
Yang
dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara
yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari
ayat-ayat A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode
tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang
digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara
teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan
problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang
mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu
muncul.[4]
Jika
ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan
ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam
empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy
(global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy
(tematik):[5]
B.
Macam-Macam
Metode Tafsir
1.
Metode
Ijmali (Global)
a.
Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir
al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut
susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode
ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karimkarangan Muhammad
Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan
Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
b.
Ciri-ciri
Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir
langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan
penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun
uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global
sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya.
Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk
mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali
seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang
dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
2.
Metode
Tahliliy (Analisis)
a.
Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy
(Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan
dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat
banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu : Al-Tafsir
bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi,
At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode
tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat
dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa)
dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5)
yang menyatakan :
ٱلَّذِينَ
يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ
يُنفِقُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن
قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ٤ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدٗى مِّن
رَّبِّهِمۡۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan
kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah
diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”
b.
Ciri-ciri
Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para
penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha
menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y,
sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab
al-nuzuldari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini
dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab
tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
·
Jami’ al-Bayan
‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan
terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
·
Ma’alim
al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)
·
Tafsir al-Qur’an
al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
·
Al- Durr
al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil
bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
·
Tafsir
al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
·
Anwar al-Tanzil
wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
·
Al-Kasysyaf,
karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
·
Arais al-Bayan
fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
·
Al-Tafsir
al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
·
Al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
·
Tafsir al-Manar,
karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain
3.
Metode
Mawdhu’iy (Tematik)
a.
Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy
ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab
al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
b.
Ciri-ciri
Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah
menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di
katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari
Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah
dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai
dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay
Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i
mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan
metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
1) Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik);
2) Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3) Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
al-nuzulnya;
4) Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
5) Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
6) Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
7) Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan
atau pemaksaan.
4.
Metode Muqarin (Komparatif)
a.
Pengertian
Pengertian metode muqarin (komparatif)
dapat dirangkum sebagai berikut :
1) Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam
dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama;
2) Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;
3) Membandingkan
berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut
dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu[6]:
b.
Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua
atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki
redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi
mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai berikut
:
1)
Perbedaan
tata letak kata dalam kalimat, seperti :
وَلَن
تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ
وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا
لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
قُلۡ
أَنَدۡعُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ
عَلَىٰٓ أَعۡقَابِنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ كَٱلَّذِي ٱسۡتَهۡوَتۡهُ ٱلشَّيَٰطِينُ
فِي ٱلۡأَرۡضِ حَيۡرَانَ لَهُۥٓ أَصۡحَٰبٞ يَدۡعُونَهُۥٓ إِلَى ٱلۡهُدَى ٱئۡتِنَاۗ
قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۖ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang
harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
2)
Perbedaan
dan penambahan huruf, seperti :
إِنَّ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ
لَا يُؤۡمِنُونَ ٦
“Sama saja bagi mereka apakah kamu
memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
وَسَوَآءٌ
عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ١٠
“Sama saja bagi mereka apakah kamu
memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
3)
Pengawalan
dan pengakhiran, seperti :
رَبَّنَا
وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ
ٱلۡحَكِيمُ ١٢٩
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat
Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta
mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
هُوَ
ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ
ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن
كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka,
mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan
al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
4)
Perbedaan
nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
فَٱسۡتَعِذۡ
بِٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٦
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat
: 36)
وَإِمَّا
يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ ٢٠٠
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
5)
Perbedaan
bentuk jamak dan tunggal, seperti :
وَقَالُواْ
لَن تَمَسَّنَا ٱلنَّارُ إِلَّآ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَةٗۚ قُلۡ أَتَّخَذۡتُمۡ
عِندَ ٱللَّهِ عَهۡدٗا فَلَن يُخۡلِفَ ٱللَّهُ عَهۡدَهُۥٓۖ أَمۡ تَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ
مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٨٠
“...Kami
sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari
saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمۡ قَالُواْ لَن تَمَسَّنَا ٱلنَّارُ إِلَّآ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۖ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh
api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran :
24)
6)
Perbedaan
penggunaan huruf kata depan, seperti :
وَإِذۡ
قُلۡنَا ٱدۡخُلُواْ هَٰذِهِ ٱلۡقَرۡيَةَ فَكُلُواْ مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ
رَغَدٗا وَٱدۡخُلُواْ ٱلۡبَابَ سُجَّدٗا وَقُولُواْ حِطَّةٞ نَّغۡفِرۡ لَكُمۡ
خَطَٰيَٰكُمۡۚ وَسَنَزِيدُ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٨
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman :
Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
وَإِذۡ
قِيلَ لَهُمُ ٱسۡكُنُواْ هَٰذِهِ ٱلۡقَرۡيَةَ وَكُلُواْ مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ
وَقُولُواْ حِطَّةٞ وَٱدۡخُلُواْ ٱلۡبَابَ سُجَّدٗا نَّغۡفِرۡ لَكُمۡ
خَطِيٓـَٰٔتِكُمۡۚ سَنَزِيدُ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٦١
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman :
Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
7)
Perbedaan
penggunaan kosa kata, seperti :
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ
أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا
يَعۡقِلُونَ شَيۡٔٗا وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang
kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا
وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ يَدۡعُوهُمۡ
إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ ٢١
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang
kami.” (QS. Luqman : 21)
8)
Perbedaan
penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمۡ شَآقُّواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥۖ وَمَن يُشَآقِّ ٱللَّهَ فَإِنَّ ٱللَّهَ
شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٤
Yang
demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya.
Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara
ayat-ayat yang berbeda redaksi ditempuh beberapa langkah : (1)
menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan
ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti
setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang
dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.
c.
Membandingkan
ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir
berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat
al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ٱدۡخُلُواْ
ٱلۡجَنَّةَ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٣٢
“Masuklah
kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke
dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits
tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan
itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian
harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal
perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas
tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan
peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di
dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits
lain, yaitu :
“Sesungguhnya ahli surga itu,
apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan
perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’
pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut.
Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
d.
Membandingkan
pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama
tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang
bersifat ra’yu(al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode
tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa
tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan
4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran
mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali,
menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.
e.
Ciri-ciri
Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi
Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara
metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan
bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut
“metode muqarrin”.
BAB III
KESIMAPULAN DAN PENUTUP
Tafsir
Al Qur'an pada dasarnya adalah cara dari manusia dengan segala keterbatasannya
untuk mengetahui maksud dari perkataan Ilahi yang Maha Kuasa dalam
ayat-ayat-Nya dan mengambil manfaat dari pemahaman itu untuk dijadikan petunjuk
dan ruh dalam kehidupan keberagamaan serta sosialnya sehari-hari. Dengan
demikian, tafsir mempunyai kebenaran yang bersifat relatif dan terikat dengan
ruang, waktu dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Tafsir dituntut agar terus
menerus diperbarui agar manfaatnya tidak lekang oleh perkembangan dari masa ke
masa.
1)
Garis besarnya
ada empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai
sekarang, yaitu :ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran
(perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik)
2)
Yang paling
populer dari keempat metode penafsiran, menurut Dr. Quraish Shihab adalah :
metode tahliliy (analistis), dan metode mawdhu’iy (tematik) namun disamping
populer menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan
disamping memiliki kelebihan.